Bab 6 : Hug and Kiss

50.4K 5.1K 138
                                    

Rasa berat di perutku membuatku terbangun. Kamar gelap gulita. Hanya terdengar suara dengkuran Mas Awan yang dekat sekali dariku.

Aku terkesiap saat menyadari kalau dia memelukku dari samping. Rasa berat di perutku adalah tangan kanannya yang melintang sampai sisi perut kiriku. Dadaku berdegup cepat kala menyadari juga kalau kepala Mas Awan menghadapku. Nafasnya samar menyentuh pipiku.

Oh tidak. Jantungku memompa dengan kecepatan penuh. Ini pertama kalinya dia tidur memelukku semenjak menikah.

Aku mengulurkan tangan untuk memeriksa panas di dahinya. Untungnya dingin. Berarti demamnya sudah hilang.

Dia tak terlalu kencang memelukku. Aku bisa menggeser tangannya lalu duduk. Jam dinding menunjukkan pukul 4 kurang. Sebaiknya aku bangun dan mandi. Datang bulanku sudah akan beranjak pergi.

Dengan sedikit gugup aku menoleh ke belakang untuk melihat Mas Awan. Dia masih tidur dengan nafas teratur. Selimut kutarik hingga menutupi pundaknya.

Selesai mandi, kulihat dia sudah tak ada di kamar. Selimut masih berantakan. Aku mencarinya di dapur tapi dia tak ada di sana. Pintu ruang kerja kuketuk berkali-kali juga tak menjawab. Akhirnya aku memutuskan sholat subuh sendiri.

Rambutku menetes di belakang punggung kaos panjang yang kupakai. Membuat rasa dingin menguasai bahkan saat aku sudah menyesap susu cokelat di dapur sambil menunggu nasi matang. Mataku tak henti melihat ke pintu depan.

"Assalamu'alaikum.."

Pintu depan terbuka dan Mas Awan mengenakan atasan baju Koko bawahan sarung.

"Wa'alaikumsalam.." jawabku masih dari meja makan.

Dia terkejut melihatku. Padahal aku yang lebih kaget melihatnya pulang dari mushola. Biasanya dia sholat di rumah.

Aku berdeham lalu berdiri, "Mau teh, Mas?"

"Boleh," jawabnya dengan suara yang sudah tak terlalu serak. Lalu dia berjalan ke kamar untuk berganti baju.

Sambil membuatkannya teh, bayangan Mas Awan yang memelukku saat tidur membuat wajahku panas. Semoga dia tak berkata apa-apa tentang itu.

Dia kembali ke meja makan dengan kaos pendek dan celana training. Aku meletakkan teh di depannya.

"Mau sarapan apa?"

"Nasi goreng."

"Nggak pakai kubis, daun bawang, seledri?" Tanyaku sedikit menyindirnya, teringat nasi goreng pertama yang kumasakkan kepadanya.

Mas Awan menatapku polos, "Kenapa nggak pakai?"

"Mas nggak suka sayur. Kata Mama."

"Kamu nelpon Mama?"

"Iya."

"Dimarahin?"

"Nggak apa-apa."

Dia menarik nafas panjang, "Besok nggak usah bilang-bilang Mama pas aku sakit."

Aku mendengus melihatnya berusaha mengalihkan topik, "Jadi? Mas mau pakai sayur nggak di nasi goreng?"

Dia ragu sesaat, "Pakai gapapa."

"Nggak bakal masuk rumah sakit kan?"

"Engga," jawabnya gemas, sambil menatapku tajam.

Setelah berdebat hanya untuk bahan nasi goreng, aku akhirnya mulai mencoba membuatnya. Kali ini kutambahkan potongan sosis dan sedikit tahu yang dipotong dadu.

Mas Awan mandi dan bersiap-siap lumayan lama. Nasi goreng sudah siap di meja saat dia kembali. Aku melirik rambutnya yang basah dan belum sempurna kering.

"Yakin udah kuat masuk kerja, Mas?"

"Udah."

"Obatnya jangan lupa dibawa."

Dia hanya berdeham kecil sambil mulai menyendok nasi goreng ke mulutnya.
Beberapa hari menjalani rutinitas bersamanya aku menyadari kalau dia tak sering meminta bantuan kepadaku. Aku selalu siap memenuhi kebutuhannya bahkan tanpa dia meminta. Entah dia yang sungkan atau aku yang terlalu gerak cepat dalam memperhatikannya.

Seperti saat dia mengeringkan rambut sendiri di kamar, aku bergegas menyusulnya dan mengambil alih hair dryer dari tangannya.

Rambut hitam legamnya terasa ringan di tanganku. Aku berusaha mengaturnya agar tak terlalu kusut.

"Balik sini, Mas," perintahku karena tak mungkin aku mengeringkan rambut depannya dari belakang.

Dia berbalik. Tingginya saat duduk sebatas dadaku. Aku sedikit menunduk untuk sejajar dengan kepalanya.

"Kamu sering ngeringin rambutnya Abdi juga?"

"Iya. Ayah juga," jawabku sambil meliriknya yang terlihat penasaran. Tumben.

"Kenapa, Mas?" Aku bertanya karena dia melihatku terus.

"Nggak apa-apa. Nggak boleh ngeliatin?"
Aku membungkam mulut. Kulanjutkan mengeringkan rambutnya hingga benar-benar kering.

"Aku sisiri ya, Mas."

Dia mengangguk.

Saat aku berusaha menyisir rambutnya, tanpa sadar kakiku menyandung kabel hair dryer yang memang tadi belum kugulung ke meja. Spontan, aku bertumpu pada pundak Mas Awan dengan badan yang sempurna condong ke depan.

Mataku bersitatap dengan dia. Seakan ada pusaran air di dalam matanya yang menyedotku hingga tak sadar. Lalu aku teringat pelukannya tadi pagi.
Wajahku memerah.

Aku berusaha menjauhkan diri namun tangan Mas Awan mencegahku.

"Mas--"

Bibirnya mengecup pelan bibirku. Aku refleks memejamkan mata dan meremas kemeja bagian pundaknya.

Kecupan lembut itu bertahan beberapa detik sebelum Mas Awan menarik wajahnya mundur. Dia lalu berdiri.

"Makasih, Ra. Aku berangkat."

Sampai dia keluar rumah, aku masih berdiri mematung di kamar. Wajahku panas sampai menjalar ke ujung kaki. Aku masih tak menyangka Mas Awan akan melakukannya.

Oh tidak. Sejak kapan dia pamitan kalau mau berangkat?

***

Katanya nyari istri cuma buat ngurusi rumah. Kok minta bonus? Hmm..

Bab agak pendek sorry :( Give your comment buat bab ini, hahaha..

Cloudy Marriage [KBM & KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang