Bab 5 : Gara-gara Ice Cream

43.4K 4.7K 321
                                    

Rasanya aku ingin mengomelinya panjang lebar di depan ranjang IGD dan di hadapan pasien serta tenaga medis disini. Aku seperti menjadi istri paling bodoh sedunia.

Bagaimana mungkin dia tak memberi tahuku kalau gara-gara ice cream tadi malam, tenggorokannya jadi radang sejak pagi, lalu tetap berangkat kerja? Puncaknya, kenapa dia tak bilang apa-apa setelah pulang kerja dengan masker dan suara serak?

Ice cream kampret.

Radang tenggorokan disertai demam kata dokter. Penyebabnya adalah mengkonsumsi es yang terlalu dingin hingga menyebabkan brain freeze atau ice cream headache yang membuat kepala pusing.

Setelah dokter meresepkan obat, aku menyuruh Mas Awan berbaring di salah satu ranjang IGD. Tengah malam seperti ini banyak sekali pasien yang masuk. Kalau nggak menempati satu ranjang, bisa nggak kebagian.

"Aku cuma batuk," protesnya saat aku memaksanya berbaring.

Ingin rasanya aku menampar dahinya yang panas, "..dan demam."

"Aku bisa jalan. Ayo pulang." Suara seraknya mengerikan.

"Sebentar. Aku tebus obat dulu." Dengan gemas, kudorong sedikit bahunya agar berbaring lalu menata selimut di tubuhnya.

Sambil berlari kecil, aku menyelesaikan administrasi lalu menuju apotik di sebelah IGD. Setelah berhasil menebus obatnya, aku kembali ke ranjang tempat tadi Mas Awan berada. Namun dia tak ada disana. Ranjangnya sudah diisi oleh seorang kakek yang ditemani putranya. Tangan keriputnya memegang dada.

Aku bingung. Kemana Mas Awan?

"Nyari suaminya tadi ya, Mbak?" Seorang ibu yang tadi menunggu anaknya di ranjang sebelah, melihat kebingunganku.

"Iya. Ibu liat kemana dia?"

"Keluar, Mbak. Mungkin di depan."

"Terimakasih."

Aku berlari keluar lewat pintu depan, sesekali menyerempet suster yang berlalu lalang. Tak kupedulikan penampilanku yang sangat aneh. Piyama beruang dibalut kardigan, beralaskan sandal jepit tanpa kaos kaki. Rambut sepundakku berkibar kala aku berlari ke depan IGD.

"Mas!"

Mas Awan duduk di kursi tunggu paling pojok, menyandar ke tembok di sampingnya. Kedua tangannya melipat rapat di depan dada. Matanya terbuka begitu mendengar teriakanku.

Aku menyuruhnya mendekat. Tak mungkin aku menerobos beberapa keluarga pasien yang memenuhi tempat duduk di kursi tunggu itu sementara posisi Mas Awan ada di pojokan. Ngapain juga, sih dia keluar IGD dan duduk mojok disana kayak orang linglung?

Aku hampir ikut terhuyung saat memapahnya yang sudah berada di sampingku. Badannya tinggi dan berat. Jiwanya yang setengah sadar juga memberatkanku.

"Disuruh rawat inap, nggak mau," omelku saat menunggu mobil pesanan datang.

Mas Awan meracau seperti orang mabuk. Badannya sangat panas hingga menembus jaketnya.

Begitu mobil datang, aku hampir ragu antara menariknya ke IGD kembali atau pulang ke rumah. Tapi melihat kengototatan dia yang tak mau opname, juga dengan penjelasan dokter kalau tak perlu rawat inap karena hanya demam menyertai radang, membuatku akhirnya mendorongnya ke jok belakang.

"Jalan pak."

***

Dengan bantuan bapak satpam yang jaga malam di lantai bawah, akhirnya aku berhasil menidurkan Mas Awan di kamar. Kurapatkan jaket di badannya lalu memasangkan plester kompres demam dari apotik ke dahinya.

Cloudy Marriage [KBM & KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang