Nina dan Eka mau tidak mau menyetujui saran dari Sindi, mereka tidak mau disalahkan jika ada apa-apa.

"Ya sudah. Ayo kita lapor pada tuan, kepala kita taruhannya ini," ujar Eka yang kemudian diangguki oleh Nina dan Sindi.

Dengan langkah kaki yang terasa sangat berat, akhirnya mereka bertiga sampai di depan pintu kamar Aldevano.

Mereka bertiga saling memandang satu sama lain, ragu antara memberi tau atau tidak tentang keadaan Nara saat ini.

"Gimana? Ketuk tidak." Nina kembali bersuara.

"Terserah deh, yang pasti jangan aku yang ngetuk pintunya," jawab Eka ketakutan.

Sindi memutar bola matanya malas. "Ya sudah, biar aku aja yang ketuk kalau kalian takut dengan tuan." Sindi menengahi.

Nina dan Eka tersenyum kikuk. Mereka mengangguk dengan mantap saat Sindi bilang dia yang akan mengetuk pintu.

Setelah beberapa saat mereka bertiga terlibat perselisihan kecil, Sindi akhirnya dengan keberanian yang sedikit mengetuk pintu kamar Aldev.

Tidak ada sahutan dari dalam kamar. Sindi kembali mengetuk pintu untuk yang kedua kalinya.

"Permisi tuan," ujar Sindi dengan suara yang agak setengah berteriak.

Tidak lama setelahnya, terdengar suara bariton dari dalam kamar. "Ya, ada apa?" sahut tegas sang pemilik kamar.

"Ma-af tuan, saya ingin memberi tau bahwa nona Nara sedari tadi membanting barang-barang yang ada di dalam kamarnya, dia juga menangis dan mengunci pintu kamarnya dari dalam tuan," jawab Sindi dengan lancarnya.

Pintu kamar terbuka.

Menampilkan sosok lelaki dengan wajah bantalnya khas orang baru bangun tidur, namun juga ada raut khawatir di wajahnya.

Tanpa basa basi, Aldev berlari menuju kamar Nara. Setibanya di depan pintu, Aldev langsung mendobrak pintu kamar itu.

Keadaan di dalam kamar bisa dibilang sangat kacau, bantal dan guling berserakan di lantai, jam weker pecah di lantai.

Parfum dan Makeup yang tadinya ada di atas meja rias, kini sudah beralih tempat di lantai, kaca meja rias juga pecah.

Namun keadaan Nara jauh lebih kacau dari kamarnya. Tubuh mungil gadis itu di lilit oleh selimut, tangannya bersimbah darah.

Rambutnya sangat berantakan, mata gadis itu terlihat sangat sembab. Dia terduduk dengan lemahnya di lantai kamar.

Mata Aldev terbelalak lebar melihat semua kekacauan yang ada di hadapannya itu. Dia berlari ke arah Nara, mencengkram pundak gadis itu dengan kuat.

Dia membawa gadis itu untuk duduk di atas kasur, Aldev menatap Nara dengan tajam.

Dia memegang pipi gadis itu, melepaskan cengkramannya pada pundak Nara. Dia mengusap pipi gadis itu dengan lembut.

"Lo kenapa sih?" sentak Aldev.

Nara mendongak, menatap wajah lawan bicaranya itu. "Gak apa," jawab Nara dengan wajah yang sendu.

Aldev menggeleng. "Lo kenapa Anara Bagaskara?" tanya Aldev lagi.

"Aku gak kenapa-kenapa Aldevano Felixo."

Nara tersenyum manis menatap Aldev, Aldev tau bahwa senyuman gadis itu sangat di paksakan.

"Lo gila tau gak!" ujar Aldev marah.

Nara menunduk, dia takut melihat kilat tajam dari mata Aldev. Lelaki itu terlihat sangat marah saat ini.

"Kamu, ibu, dan yang lain memang sama," celetuk Nara sambil mengusap air matanya.

DEVANARADonde viven las historias. Descúbrelo ahora