BAB 13 : Saputangan Milik Raegan

541 40 3
                                    

Sepulangnya Azzalea dari restoran Fine Dining, ia duduk diam di tepi tempat tidur di kamarnya. Kedua kakinya merapat memijak lantai. Kepalanya terus menunduk sedari tadi. Matanya terus melihat saputangan milik tuan muda Raegan yang kini ada dalam genggamannya. Seolah - olah itu adalah jimat sakti mandraguna.

Setelah puas melihat, Azzalea membuka lembaran saputangan itu. Saputangan dengan warna dasar putih beras, terdapat gambar sekumpulan bunga di tiap sudutnya. Walaupun ada beberapa noda bekas lumeran es krim di kainnya, tidak membuat saputangan itu hilang keindahannya. Jemari Azzalea mengusap lembut permukaan saputangan milik Raegan.

Kainnya sangatlah halus dan setiap seratnya sangatlah wangi. Ujar Azzalea dalam hati.

Fakta tersirat dari saputangan itu adalah sang pemiliknya menyukai bunga. Rumah pribadinya juga dikelilingi kebun bunga dan tuan muda Raegan suka melukis kemolekan bunga - bunga.

Di sisi lain, Ellen sedang berbincang dengan ibunya. Sang ayah, tuan Robinson tidak ikut bergabung ke dalam percakapan mereka karena sedang asyik membaca berita harian bisnis dan saham. Mereka bertiga duduk di ruang keluarga dan ada tiga cangkir teh yang terletak di atas meja.

"Bagaimana kabar bibi So Ri, mama?" tanya Ellen seraya mengambil cangkir teh miliknya.

"Bibi So Ri baik. Tadi mama mengajak Azzalea ikut ke restoran Fine Dining." Nyonya Moon melihat putranya yang sedang minum teh.

"Teman - teman mama bilang Azzalea gadis yang cantik," kata nyonya Moon lagi.

Spontan Ellen tersentak.

Brustt..
Ia bahkan tersedak.

"Ada apa sayang?" tanya nyonya Moon sembari mengusap punggung anaknya beberapa kali.

Sementara tuan Robinson hanya melihat Ellen sesaat lalu fokus melihat gawainya lagi. Setelah meletakkan kembali cangkir teh di atas meja, Ellen lanjut berbincang dengan ibunya.

"Kenapa mama mengajak wanita itu?"

"Mama mengajaknya untuk membawakan tas mama."

Ellen terlihat mengerti karena mengangguk beberapa kali.

"Putraku, tidur di sini saja malam ini." Pinta nyonya Moon.

Hah..
Ellen menghela nafas panjang. Sesaat pandangannya menjauh dari nyonya Moon. Lalu menoleh ibunya lagi.

"Tidak mama, aku punya rumah sendiri dan aku sudah besar. Aku suka hidup mandiri."

"Walaupun kamu sudah besar, kamu tetaplah anak bagi mama, bayi mama." Nyonya Moon mencubit lembut pipi putranya dan mengusap kepala anaknya beberapa kali.

Tapi Ellen kurang suka diperlakukan seperti itu oleh ibunya. Dia merasa di umurnya sekarang sebagai pria matang, tidak pantas mendapat perlakuan seperti pada seorang bocah. Ellen memutar otaknya, mencari alasan untuk menghindar dari hal yang membosankannya.

"Mama, ini sudah malam. Aku harus pulang ke rumahku," kata Ellen.

[ Yang dimaksud Ellen, rumahnya adalah rumah selir ]

"Baiklah sayang, hati - hati di jalan," kata nyonya Moon.

Tuan Robinson yang mendengar perkataan putranya pamit pulang segera bertanya,

"Besok kamu ke kantor?"

Ellen menoleh seraya menjawab,

"Ya papa, aku akan aktif bekerja lagi mulai besok."

Tuan Robinson tidak berkata lagi. Ia hanya mengangguk beberapa kali.

"Aku akan ke kamar Azzalea dulu mama."

Umpan Sang Penguasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang