Chapter 39 : Rencana Pembalasan

Start from the beginning
                                    

Naila menelusuri jalan di sekitar area makam, ia juga mencari di sepanjang jalan raya ke arah rumah Adit.

Nihil, ia sama sekali tak menemukan keberadaannya.

Ia menghentikan sepedanya. "Kamu dimana, sih?"

Naila berusaha mengingat-ingat keberadaan Adit melalui video call-nya tadi.

"Tadi yang aku liat cuma jalan biasa. Abis hapenya jatuh, yang keliatan cuma tiang listrik doang," gumamnya.

Ia kembali mengingat-ingat, dan tak lama ia teringat akan sesuatu.

"Oh, iya! Tadi sebelum hapenya jatuh, aku gak sengaja ngeliat lapangan kosong!"

Ya, sesaat sebelum ponsel Adit terjatuh, Naila melihat ada lapangan kosong.

"Inget-inget, Nai. Lapangan itu kayak gimana," gumam Naila.

Lapangan yang ia ingat adalah lapangan biasa, hanya saja kosong dan tidak ramai. Selain kedua ciri itu ia tidak mengingat apapun.

Ia menjentikkan jarinya. "Oh iya! Rumputnya kering!"

Senyumnya mengembang. "Dan cuma ada satu lapangan yang rumputnya kering kayak gitu."

Lapangan lama di sebelah pemukiman.

Naila kemudian bergegas mengayuh sepedanya, menuju tempat yang ia yakini terdapat Adit disana.

Semoga kamu gak kenapa-napa, Dit.

***

Lapangan itu menguning, tak seperti lapangan biasa. Suasana sepi juga sangat terasa disana.

Meski di sebelah pemukiman, warga disana enggan untuk pergi ke lapangan itu. Isu bahwa lapangan itu berhantu, membuat mereka takut untuk pergi atau sekadar melewatinya.

Namun, hal itu tak berlaku bagi Naila. Ia mengendarai sepeda merahnya dengan cepat kesana.

Sambil mengayuh, matanya berkeliling menelusuri area lapangan maupun jalan disana.

Dan tak lama, netra hitamnya menangkap sosok lelaki yang terkulai lemah di bawah tiang listrik.

"Ya Allah, Adit!" Ia bergegas turun dari sepedanya dan menghampiri lelaki itu.

Di sampingnya, juga terdapat ponsel yang sudah hancur. Naila mengambilnya.

Jadi karena ini panggilan tadi tiba-tiba langsung berakhir. Kok bisa hancur begini, sih?

Ia mengalihkan pandangannya ke Adit. "Dit, bangun!"

Adit tak menunjukkan respon apapun. Membuat Naila semakin khawatir dengannya.

"Ya Allah, lukanya banyak banget. Apa dia abis dipukulin, ya? Tapi sama siapa?" pikir Naila.

Naila menggeleng. "Apapun itu, sekarang harus telpon ambulans dulu!"

Untungnya Naila pernah belajar sedikit tentang nomor-nomor darurat, dan sekarang ilmu itu bisa berguna untuknya.

Ia menekan 118 di ponselnya.

"Halo, kami dari Rumah Sakit Gandaria. Ada yang bisa kami bantu?"

"T-tolong, kirim ambulans kesini! Darurat!"

"Oke, bisa dijelaskan alamat spesifiknya dimana? Dan bagaimana keadaan pasien?"

"Banyak luka lebam, dia udah gak sadarkan diri! A-alamatnya di ...."

Naila berpikir sejenak, sejujurnya ia juga kurang tau dimana ia berada.

"S-sebentar, saya cek di maps dulu."

Sahabat Dunia Akhirat [SUDAH TERBIT] ✔Where stories live. Discover now