1. Someone Like You

48 7 1
                                    

*

Nothing compares, no worries or cares
Regrets and mistakes, they're memories made
Who would have known how bittersweet this would taste? 

*

"Serius aku ikut nih, Mas?"

"Iya, lah. Kamu kan bagian dari tim ini juga, Nay."

"Tapi kan status aku masih intern doang, Mas. Aneh aja rasanya kalau ikut meeting penting sama yang lain."

"Justru karena kamu masih intern jadi kamu harus tahu gimana proses dan kondisi selama meeting seperti ini berlangsung. Ini jadi bagian dari proses pembelajaran juga loh, Nay."

"Berarti nanti aku disana diam aja ya, Mas? Merhatiin yang lain aja gitu?"

"Ya itu terserah kamu. Kalau sekiranya kamu mau berpendapat juga nggak ada yang ngelarang."

"Okedeh. Kalau gitu aku nyusul sepuluh menit lagi ya, Mas. Meeting-nya masih sekitar dua puluh menitan lagi, kan?"

"Iya, asal jangan telat."

"Siap, Mas Idan!"

Naya memutuskan sambungan dan menaruh ponselnya di atas meja. Ia mulai merapikan beberapa lembar kertas yang masih berserakan dimejanya dengan semangat. Senyum lebar tercetak jelas dibibirnya, layaknya anak kecil yang baru saja mendapat kabar jika sang ayah akan datang membawakannya mainan baru.

"Lo doang emang deh Nay yang nggak jadi pulang karena harus meeting after work tapi malah senang." Wanita berhijab hitam di depan meja kerja Naya berkomentar sambil menggeleng pelan.

Naya terkikik geli masih dengan senyum lebarnya. "Ya kan poin plusnya di meeting itu ada Pak Bay, Mbak Lun. Kapan lagi gue bisa berada dalam satu ruangan sama Pak Bos. Apa lagi ngeliat Pak Bos mimpin rapat! Haduh, nikmat mana lagi kau dustakan."

Wanita berhijab yang dipanggil Mbak Lun itu tertawa keras mendengar jawaban Naya. Juniornya yang satu ini memang sedikit aneh. Pemikirannya selalu beda dari yang lain.

"Dasar bucin. Eh tapi sedih juga sih bucin satu pihak. Bahkan pihak yang dibucinin nggak tahu ada orang yang ngebucinin dia sebegitunya," tawa wanita itu semakin kencang.

"Ih, ini tuh bukan bucin. Tapi me-nga-gu-mi."

"Nggak, nggak! Lo itu udah melewati tahap mengagumi. Mana ada orang yang cuma mengaggumi tapi ngikutin semua media sosialnya, update sama semua gosipnya, tahu hampir semua kebiasaannya, dan kayaknya kalau Pak Bayu tipikal yang sering upload foto di Instagram lo pasti bakal selalu ngecapture fotonya doi, iya kan? Sayang aja akunnya dia isinya cuma pemandangan doang."

Naya melongo mendengar penjelasan Luna. Apa sebegitu terlihatnya ia mengagumi, ah tidak, maksudnya menyukai bosnya itu?

"Diam kan lo? Ngakuin sekarang kalau lo emang bucin berat Pak Bos?" tanya Luna dengan senyum kemenangannya.

"Nggak. Pokoknya gue bukan bucin! Gue hanya orang yang mengagumi dan menyukai dari jauh tanpa mengharapkan balasan."

Melihat Naya yang seperti tidak bisa dibantah, Luna hanya menghela napas pasrah dan menyandar pada kursi kerjanya.

"Terserah lo deh, Nay. Asal jangan tiba-tiba gue dengar berita lo pacaran sama Pak Bos aja ya."

Mendengar ucapan Luna, Naya reflek menghentikan aktivitas membereskan barangnya. "Ya Allah, Mbak. Sebesar apapun keinginan gue buat aminin ucapan lo, gue tetap sadar diri kok. Gue cuma serbuk jasjus kalau dibandingin sama Bianca yang cantiknya nandingin Gigi Hadid. Kalau Pak Bos nggak punya sakit mata, ajaib bin mustahil dia milih gue ketimbang pacarnya yang sekarang itu."

The AmbitionWhere stories live. Discover now