6. Pressure

12 5 0
                                    

Pulang ke rumah memang merupakan pilihan yang tepat untuk saat ini. Setidaknya itulah yang Naya pikirkan. Ia tidak akan tenang berada di apartemennya sendirian dengan berbagai macam pikiran buruk yang menghampiri. Mungkin berada di rumah bersama sang bunda bisa sedikit mengurangi rasa cemasnya.

Naya turun dari mobilnya. Ia mengernyit heran ketika melihat mobil lain yang terparkir di depan halaman rumah. Mobil yang sangat familiar, namun sudah sangat lama tidak Naya lihat secara langsung. Mobil milik Tarega, ayahnya.

Untuk apa ayahnya berada di rumah ini? Bukannya Naya tidak ingin melihat sang ayah. Hanya saja seingatnya ketika Pertiwi bercerai dengan Tarega enam tahun lalu, mereka berdua sepakat untuk tidak pernah bertemu lagi satu sama lain. Naya sendiri juga jarang bertemu dengan ayahnya setelah proses perceraian itu. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama dengan Pertiwi dibandingkan dengan Tarega.

Berjalan masuk melewati pintu depan yang tidak tertutup, Naya mendapati adanya suara teriakan dua orang yang terdengar cukup keras. Suara kedua orang tuanya. Naya pun mempercepat langkahnya. Ingin mengetahui apa yang sedang terjadi di antara kedua orang itu.

"Itu yang kamu bilang mendidik? Begini hasil didikan yang selama ini selalu kamu bangga-banggakan?"

Suara teriakan ayahnya semakin terdengar. Bahkan sekarang Naya bisa mendengar teriakan itu dengan jelas.

"Kamu gak berhak mengomentari hal itu ketika kamu sendiri gak pernah berusaha untuk dekat dengan anakmu!"

Langkah Naya terhenti. Ia berada di perbatasan antara ruang tamu dengan ruang keluarga. Dari posisinya ini ia bisa melihat sang ayah yang sedang berkacak pinggang dengan wajah memerah. Percakapan yang baru saja Naya dengar, sepertinya ia tahu akan mengarah kemana. Pasti ayahnya datang untuk memastikan berita yang sedang banyak dibicarakan itu. Berita tentang dirinya.

"Siapa yang membuatku gak bisa dekat dengan Naya? Kamu! Kamu yang selalu berkoar-koar bisa mendidik dia lebih baik tanpa adanya aku. Kamu yang selalu berkata bahwa anak itu gak membutuhkan ayahnya. Lalu sekarang apa hasilnya? Anakmu itu bertingkah layaknya seorang wanita kegatelan yang menggoda atasannya. Apa kamu gak malu?"

Naya tersentak. Kedua tangannya reflek menutup mulutnya yang terbuka lebar karena kaget mendengar cacian dari ayahnya. Apakah dirinya sehina itu? Apakah ayahnya benar-bener berpikir dirinya serendah itu?

"Jaga mulut kamu! Kamu pikir kamu siapa bisa menghina anakku? Kamu gak tahu apa-apa tentangnya, Rega!"

"Dia juga anakku! Dan anakku gak akan menjadi seperti ini kalau saja kamu bisa lebih becus mendidiknya."

"Naya gak seperti yang kamu pikirkan! Apa kamu sebodoh itu sampai lebih mempercayai berita yang kamu baca daripada anakmu sendiri? Kamu mengaku ayahnya, tapi kamu gak bisa mempercayai anakmu sendiri! Apa itu yang kamu sebut sebagai ayah?!"

"Bagaimana bisa aku mempercayai anak yang sudah mencoreng nama baik orang tuanya sendiri? Gara-gara dia semua orang menatap aku dengan rendah. Semua gara-gara dia! Gara-gara kamu yang gak becus mendidiknya!"

Cukup sudah. Naya tidak tahan lagi. Sedari tadi ia hanya berdiri diam mendengarkan pertengkaran kedua orang tuanya. Naya kecewa, kesal, dan sedih disaat yang bersamaan. Ketika ia sedang membutuhkan banyak support dari orang-orang terdekatnya, ayahnya justru menghinanya tanpa mau mendengar penjelasannya terlebih dahulu.

Naya sangat ingin menangis, tetapi ia tidak ingin terlihat lemah dihadapan orang yang bahkan tidak bisa mempercayainya sama sekali. Ia akan berusaha untuk tidak peduli ketika Tarega menghina dan merendahkannya. Namun Naya tidak akan tinggal diam jika lelaki itu juga merendahkan bundanya. Bagaimanapun Pertiwi tidak salah apa-apa.

The AmbitionOnde histórias criam vida. Descubra agora