[20] The Way Back

295 37 6
                                    

Sama sepertiku, Toru juga tampak kaget melihatku di kedai ini. Dia melangkah menghampiriku lalu duduk tepat di depanku. Seperti biasa, dia selalu tampan di mataku. Haruskah aku berteriak senang sekarang?

"Hai." Dia tersenyum, nada suaranya agak gugup. Aku membalas senyumannya.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya.

"Sekarang lebih baik." Aku mengambil sumpit dan menikmati ramenku. Dia memperhatikanku sampai aku selesai makan.

"Mmm," dia tampak ragu ingin membuka obrolan, "wanita yang kau temui di apartemenku terakhir kali adalah Emily."

Aku mengernyit. "Lalu?"

"Emily adalah teman dekatku sejak lama. Dia juga dekat dengan Taka dan yang lain. Kami mengenal baik kakaknya, Daniel. Kami semua memang sering berkumpul bersama untuk bersenang-senang," jelasnya.

"Kau masih sering minum?"

Dia mengangguk. "Sedikit."

Kesunyian merambat bagai tanaman ivy. Toru tidak bicara lagi. Aku juga bingung harus menanggapi seperti apa. Aku hanya terus menundukkan kepalaku karena Toru tidak melepaskan tatapannya dariku.

"Ayo ikut aku. Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu." Dia menarik tanganku untuk mengikutinya.

Sudah lama sekali aku tidak duduk berdua di dalam mobil dengannya. Aku hafal jalanan yang kami lewati sekarang. Ini jalanan menuju apartemennya. Dia mengajakku turun begitu kami sampai di parkiran apartemen. Aku penasaran apa yang akan dia berikan.

Dia menekan pin pada pintu apartemennya dan mempersilahkan aku masuk setelah pintu terbuka. Aku masih hafal pin itu, kenapa dia tidak menggantinya saja?

Aku melepas jaket tebalku dan menaruhnya di gantungan dengan santai, lalu duduk di sofa. Sudah berasa seperti rumah sendiri. Sungguh tidak tahu malu. Toru sedang mencari sesuatu di dalam lemarinya lalu ikut duduk di sampingku begitu sudah mendapat benda yang dicarinya.

"Ini untukmu. Aku belum sempat memberikan ini padamu dulu." Dia menyerahkan hoodie hitam yang dibelinya waktu itu.

"Aku masih mencintaimu," ujarnya langsung pada intinya.

...

"Kenapa diam? Aku masih menganggap hubungan kita baik-baik saja sejak hari itu."

Aku jadi teringat satu hal. "Kenapa kau mengikutiku?

Dia tampak kaget karena tertangkap basah. "Aku melakukan itu karena kau melarangku menghubungi dan menemuimu. Aku tidak ingin kau semakin membenciku, oleh sebab itu aku hanya melihatmu dan memastikan kau baik-baik saja dari kejauhan."

"Aku tidak pernah membencimu."

"Aku masih merasa bersalah atas kejadian itu."

"Itu bukan salahmu."

"Maaf," tangannya bergerak menyentuh bekas luka samar di bibirku. Aku juga tidak tahu kenapa masih membekas, "kau pasti sangat kesakitan." Dia mengelus sudut bibirku dan semakin mendekatkan wajahnya. Aku menutup mataku saat hidung kami sudah bersentuhan.

Ponselku tiba-tiba berdering. Sial. Kenapa benda ini berdering di saat-saat seperti ini? Mengganggu saja.

Aku menjauhkan wajahku dan mengambil ponsel di saku celana. Toru tampak malu dan memalingkan wajahnya. Aku mengangkat panggilan yang ternyata dari Audy.

"KAU DI MANA?!"

Aku menjauhkan ponsel dari telingaku mendengar suara memekakkan di seberang sana.

"Ssstt. Santai saja." Aku berdiri dan berjalan menuju jendela.

"KAU DI MANA?! Sudah jam berapa ini?! Kenapa belum pulang?! Kau baik-baik saja, 'kan?!"

"Astaga. Pelankan suaramu. Aku baik-baik saja. Aku sedang di apartemen Toru sekarang."

"Wah. Apa yang kalian lakukan?!"

"Aku hampir bersenang-senang seandainya ponselku tidak berdering tadi. Hih. Kau mengganggu sekali."

"Hahaha. Maafkan aku. Ya sudah lanjutkan malam indahmu."

Gila.

Aku mematikan ponsel dan menyimpannya lagi ke dalam saku. Aku berbalik hendak kembali ke sofa seandainya Toru tidak mengagetkanku. Dia sudah berdiri di depanku sekarang dengan wajah lempeng itu.

"Kau tidak mendengar percakapanku kan?" Aku khawatir karena tadi berbicara dalam bahasa Jepang dengan Audy. Aku sudah mahir bahasa Jepang sekarang hahaha.

"Tidak."

Suara kembang api di luar menarik perhatian kami berdua. Aku menghadap ke jendela lagi menyaksikan kembang api di luar sana. Ini adalah pergantian tahun. Hari baru. Dan kisah yang baru.

Toru memelukku dari belakang. Dia melingkarkan tangannya di sekitar perutku. Aku masih fokus pada kembang api saat Toru menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku tahu dia menatapku saat ini. Mungkin baginya wajahku lebih menarik dari kembang api itu.

"Bagaimana?" tanyanya tiba-tiba.

"Apanya?"

"Apa kau masih mencintaiku?"

Malu-malu aku mengangguk.

Detik berikutnya dia sudah menarikku dalam ciuman yang panjang. Mengabaikan sautan kembang api di luar sana.

*

Semalam aku menginap di apartemen Toru. Tadi pagi dia mengajakku jalan-jalan. Melakukan semua hal yang belum pernah kami lakukan dulu. Menonton film di bioskop, naik bianglala, jalan bergandeng tangan dan sesekali berhenti untuk membeli street food. Kurang romantis apa lagi? Kami juga memakai hoodie couple.

Dan sekarang aku sudah duduk manis di sofa menemani Toru yang sibuk dengan macbooknya di samping. Entah mengerjakan apa.

"Toru-san?"

Dia menghentikan atensinya pada macbook dan menoleh padaku. "Kenapa?"

"Boleh tanya sesuatu?"

"Tentu."

"Apakah dulu istrinya Ryota-san dan Tomoya-san juga pernah diancam sepertiku?"

Dia menutup macbooknya dan mengubah posisi duduknya menghadapku. "Kurasa tidak."

"Kenapa bisa begitu?"

"Karena mereka tidak terlibat skandal. Tidak ada berita kedekatan mereka. Ryota dan Tomoya langsung mengenalkan istri mereka pada publik."

"Oh." Aku mengangguk. "Syukurlah."

"Ayo menikah," ujarnya tiba-tiba.

"Apa?!"

"Menikahlah denganku. Tidak akan ada yang berani menyakitimu lagi. Apa kau mau menjadi istriku?"

Aku mengangguk sebagai jawabannya.

*****

note: this is the last chapter. masih ada epilog yak.

Arigatou, Toru-san! | Toru Yamashita [COMPLETED]Where stories live. Discover now