"Nggak, Suf. Mau di kamar aja capek habis revisian," jawab gue sambil duduk di kursi meja makan.

Gue meneguk air putih yang ada di gelas. Biasanya air putih rasanya tawar. Cocok untuk menetralisir suatu rasa tertentu di lidah. Tapi hari ini beda. Air putih rasanya pahit, justru menghilangkan rasa yang ada di lidah.

"Oh.... Yaudah Jusuf mau pulang ke rumah dulu.... Hati-hati Kak,"

"Gue kali yang harusnya bilang hati-hati, Suf. Hati-hati lo,"

"O....Oke Kak,"

Jusuf mungkin menjadi salah satu penghuni yang paling peka tentang apa yang sedang gue rasakan. Tapi anak itu terlalu takut untuk melontarkan satu pertanyaan saja ke gue. Apa muka gue sekarang jadi benar-benar merepresentasikan mayat hidup sampai Jusuf saja takut?

Hari ini kostan sepi karena weekend. Bayu ikutan lomba paduan suara antar jurusan dengan Ara. Dan beberapa penghuni yang rumahnya nggak terlalu jauh dari kost pulang ke rumah masing-masing. Kecuali Haris yang baru pulang siang nanti. Sebenarnya gue mau pulang, mau peluk Mama dan cerita semua yang menjadi beban gue sekarang.

Atau menyapa Ayam, Bebek, sama Angsa yang sudah pasti sukses membuat rasa sedih gue luntur walaupun cuma sesaat. Susah juga jadi anak tunggal kalau lagi kayak begini.

Karena Jusuf barusan pulang, itu berarti gue di kost sendirian sekarang. Haris nggak dihitung, karena anak itu masih tertidur setelah mengerjakan maketnya sampai jam tiga dini hari tadi.

Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang ketika pintu gue diketuk sebanyak beberapa kali yang memaksa gue harus bangun dari tidur. Bayu berdiri di depan kamar gue masih dengan setelan kotak-kotaknya yang dia pakai dari pagi tadi.

"No, Ara di bawah. Dia nyariin lo,"

"Hah?"

"Anjir, lo beneran jadi kayak mayat hidup ya. Ara di bawah itu nyariin lo. Nanyain kenapa lo ngilang-ngilang mulu terus nggak dateng lomba."

"Ohhh."

"Gue nggak tau ya, lo berdua kenapa. Tapi tolong temuin dia sekarang juga di bawah. Nggak kasian apa lo sama anak orang?"

"Iya, Bang."

Yang pertama kali gue jumpai ketika tiba di ruang tengah adalah Ara dengan wajah lelahnya. Riasan tipis terpoles dengan rapi yang menegaskan garis-garis kecantikannya.

Kalo gini gue jadi makin nggak bisa ngejauh anjir.

Tapi pertemuan siang itu nggak berlangsung dan berakhir dengan baik. Gue yang memang lagi kalut, jadi menanggapi penuturan Ara dengan sedikit emosi yang sudah gue tahan mati-matian. Nggak mungkin juga gue cerita kalau perkataan ringan Om Janu Sabtu itu yang membuat gue jadi begini.

Ara pulang dengan menggunakan ojek online ke kostnya. Sepertinya. Karena gue nggak berani untuk melihat wajahnya sekali lagi. Atau pertahanan yang sedang gue bangun sekarang akan runtuh begitu saja.

"Udahan lo ketemunya, No?"

"Gue ngancurin semuanya, Bang."

"Maksud lo?"

"Gue kayaknya nggak pantes buat orang seberharga Ara."

"Lo ngomong apaan sih, No? Gue clueless banget tau sama lo berdua."

"Besok kalo udah oke, gue cerita. Tapi gue nggak tau kapan gue bakalan oke."

"No, tenangin dulu pikiran lo jangan gegabah. Coba lo pikirin baik-baik sebenernya kenapa?"

Bayu yang sedang memegang gagang pintu kamarnya, melepaskan gagang itu begitu saja dan berjalan menghampiri gue yang masih berdiri di depan kamar.

"Ara itu terlalu baik, terlalu cantik. Kayak, semua orang mau sama dia. Tapi gue disini udah nyia-nyiain dia."

"Lo ngapain anjir?"

"Gue udah jadi orang brengsek. Gue cuma bakal ngehancurin hatinya dia,"

"Bentar-bentar, napas dulu. Atau lo mau minum?"

"Nggak usah."

"Gini, masalah lo apa aja gue nggak tahu. Apa lo nggak mau berusaha buat diskusi baik-baik daripada lo tau-tau marah sama diri lo sendiri kayak gini?"

"Udah final, gue pengecut."

"No, mendingan lo tenangin diri dulu aja. Lakuin apapun yang bikin pikiran lo agak lega, terus ngomong sama Ara."

"Iya, Bang."

"Sekarang Ara dimana?"

"Gue nggak tahu. Entah masih di bawah atau udah pulang. Gue nggak berani liat wajahnya."

Bayu tiba-tiba berlari menuruni setengah anak tangga dan kembali lagi ke gue dengan cepat. Persis seperti orang yang lagi dikejar-kejar anjing, tapi Bayu nggak takut anjing. Laki-laki itu menatap wajah gue dengan emosi yang tidak jelas.

"Dia masih dibawah anjir! Masa mau lo suruh pulang sendiri? Gue anterin aja,"

"Terserah, Bang."

"Gila, lo. Nggak ngerti lagi gue sama lo kali ini,"

"Iya, Bang. Gue emang lagi gila."

Lagi-lagi Bayu lari turun ke bawah, nggak lupa dia menyambar kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja belajar. Berbeda dengan gue yang memilih memasukki kamar.

Maaf, Ra. Kali ini aku beneran udah kelewatan.

sumpah sebenernya aku kasian sama kirino.....

ElixirWhere stories live. Discover now