9. Rencana Mereka

1.8K 310 131
                                    

Setelah kejadian di kampus pagi tadi, Zia merasa seperti mempunyai dorongan yang kuat untuk pergi melangkah menyusuri hutan tapi, entahlah mungkin hanya perasaan.

"Kau hebat Zia!" pekik Mery lalu meletakkan cangkir berisi teh panas dan duduk di samping Zia dengan senyuman lebar.

"Entahlah Bu, aku hanya menurut dan berusaha," ujar Zia lalu menyeruput teh panas tersebut dengan hati-hati.

William memutar bola matanya jengah. Hanya duduk di kursi samping Zia dan melihat bagaimana senangnya raut wajah Mery ketika mendengar cerita jika Zia berhasil melawan monster.

"Hm, mungkin Ibu harus pergi." Mery berdiri dari duduknya dan mengambil jaket kulit berwarna cokelat muda miliknya yang tergantung di dekat pintu dapur.

Dahi Zia mengernyit, "Ibu akan pergi kemana? Jam sudah hampir menunjukan malam hari."

"Tenang saja Zia, Ibu bisa menjaga diri Ibu sendiri. Ibu menyayangimu," jawab Mery lalu mencium dahi Zia dan berlalu pergi menghilang di balik pintu.

Zia memandang kepergian ibunya dengan perasaan curiga, tidak biasanya ibunya pergi-pergi begitu saja apalagi jam sudah hampir menunjukan malam hari.

Saat Zia ingin berdiri untuk menyusul ibunya, tangan dingin William tiba-tiba menyentuh tangan Zia memberi intruksi untuk duduk kembali, Zia menoleh ke arah Willam yang di balas dengan tatapan khas milik pria tersebut.

"Ya?" tanya Zia lalu duduk kembali sambil melepas tangan William yang sedari tadi menggenggamnya.

"Rencana kita," jawab William

"Baiklah, kapan kita akan pergi mencari keluargaku?" tanya Zia sambil menaikkan satu alisnya

"Mungkin besok, lebih cepat lebih baik bukan?"

"Ya, oke. Aku ingin naik ke atas dan mandi, tubuhku sangat terasa lengket," jelas Zia lalu mencubit hidung William membuat pria tersebut merasakan hal yang seharusnya tidak ia rasakan.

"Ini gila," lontar William sambil memukul keras bagian dadanya.

***

Pukul 23.25

"Kemana Ibu? Sudah sangat larut malam tapi, belum juga pulang," gumam Zia sambil sesekali menoleh ke arah jendela yang langsung mengarakan pada halaman depan.

"Zia? Kau belum juga tidur?" tanya William sambil mengusap wajahnya

"Kau juga kenapa belum tidur?"

"Aku terbangun karena mendengar suara tembakan, siapa yang bermain pistol malam-malam begini?" tanya William yang sudah berada di dekat Zia

Zia mengernyitkan dahinya, selama beberapa jam terjaga gadis itu sama sekali tidak mendengar suara apapun selain suara jangkrik.

"Apa maksudmu? Aku tidak mendengar apa-apa selain suara jangkrik," tegas Zia sambil menyipitkan matanya menatap William.

"Mungkin kau mempunyai gangguan telinga, atau gen-"

Mereka sama-sama menoleh cepat ke arah meja kecil di sudut ruangan yang di atasnya terdapat telepon rumah yang tiba-tiba berdenting nyaring.

"Astaga aku terkejut," gumam William lalu menoleh ke arah Zia, yang di balas tatapan kebingunan oleh gadis itu.

"Aku akan menjawabnya," tawar Zia sambil mengendikan bahunya.

William menyenderkan punggungnya di tembok dekat pintu, sambil menatap gerak-gerik Zia yang mulai mengangkat telepon dengan sangat anggun.

Pria dingin tersebut langsung berdiri tegak dan berlari ke arah Zia ketika melihat gadis tersebut menjatuhkan telepon rumah dengan air mata yang siap turun.

LUIZIA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang