26 || Selamat tinggal Rinjani

Start from the beginning
                                    

"Hemat baterai. Lagian ada bulan tuh terang." Reyyen menunjuk sang bulan terang benderang, tetapi setelah itu langsung menyalakan senternya.

"Nah kan terang." Jiela bertepuk tangan, seperti baru menang lotre.

Reyyen masih kebingungan, "Kenapa harus tepuk tangan?"

"Emang gak boleh, ya?" Wajahnya berubah menjadi ketakutan, Jiela takut jika ada larangan di Gunung Rinjani yang tidak boleh bertepuk tangan malam hari. Kan serem.

"Siapa yang larang? Boleh kok, gue heran aja lo tepuk tangan tiba-tiba kaya bocah." Reyyen tertawa pelan.

Ia pun tak tau kenapa tiba-tiba tepuk tangan, hanya gerakan refleks sepertinya. "Ih ... Gue udah jantungan tau, takut berhubungan sama mitos. Lo tuh! Kalau bicara dipikir dulu dong, gue kan takut."

Reyyen yang sedang menyampirkan jaket di bahunya, hanya terkekeh pelan menanggapi ucapan Jiela. "Sorry, jangan terlalu parno. Santai aja. Jadi, lo mau ngapain keluar tenda?" tanyanya dengan alis kiri terangkat menunggu jawaban.

"Susah tidur," keluh Jiela. "Mau ambil susu coklat sachet di tas nya Ehsan. Tapi tadi malah jatuh, gatau kesandung apa gak keliatan."

"Luka, gak?" Reyyen memiringkan duduknya supaya dapat menatap Jiela. "Dimana lukanya?" desak Reyyen.

Jiela memperlihatkan lukanya sekilas, lalu menutupnya kembali. Ia malu, tak mau meringis kesakitan di depan cowok ini, sudah cukup kemarin ia menampakkan sisi lemahnya. Tetapi tangan Reyyen menahannya, tangannya mengambil sedikit air dari danau lalu diusapkan pada luka yang berada di bawah lutut Jiela.

Rasanya dingin, segar, tetapi setelahnya perih, sehingga tak tahan lagi untuk menahan ringisannya. "Jangan di kasih air, sakit!" pintanya.

Tak menanggapi ucapan Jiela, Reyyen meniup luka itu beberapa kali. "Lo kesandung apa sih sampai luka begini?"

"Kan gue udah bilang enggak tau," jawab Jiela, kini gilirannya untuk meniup lukanya. Omong-omong, tadi Jiela cukup terkejut mendapatkan perlakuan yang menurutnya manis dari Reyyen.

"Hati-hati kalau jalan, ya." Jiela menjawab dengan gumaman, tak tau lagi mau menjawab apa.

Keduanya terdiam, menikmati gelapnya malam Rinjani ditemani cahaya senter remang-remang di bawah bulan benderang. Di depannya terdapat pemandangan yang memesona, anak gunung Rinjani, yaitu gunung Barujari.

Hembusan angin Rinjani yang menusuk permukaan kulit, membuat Jiela harus merapatkan jaketnya.

Reyyen yang tak sengaja melihat Jiela yang menggigil langsung berkata, "Dingin ya? Ke tenda gih! Tidur sana, udah malem."

"Belum ngantuk. Lo ngapain di sini sendirian, Rey?" Jiela mengalihkan topik pembicaraan.

"Gak sendirian. Gue ditemenin sama lo."

Jiela geram. "Tadi Rey!"

"Oh. Tadi. Bilang dong." Reyyen terkekeh. "Gue lagi menikmati malamnya di Segara Anak tuh kaya gimana. Lagian 'kan gue belum tentu bakal kesini lagi. Gue punya banyak list gunung yang harus gue daki."

"Keren. Ajakin gue lagi dong," ucapnya antusias.

Reyyen menyunggingkan senyumnya, senang melihat raut antusias cewek di depannya. "Gak, ntar lo nyusahin."

Titik Koordinat Takdir [COMPLETED]Where stories live. Discover now