30. Enggak setiap hal pasti sama

30 5 24
                                    

Siapa yang tidak pusing kalau kakak dari orang yang kita suka, mengetahui kalau kita menyukai adiknya?

Jantung Davian seperti berhenti mendadak. Diterjam batu, tapi tidak sakit. Ia tidak bereaksi apa-apa tapi pikirannya sedang bergelut dengan hati. Yang mana yang harus ia duluankan. Perasaan atau yang lain.

Davian pernah janji pada kakaknya untuk tidak berpacaran dulu semasa SMA. Tapi kalau memang ia ingin, mau bagaimana lagi? Kakaknya juga tidak akan marah kalau menyangkut perasaan. Dengan syarat, nilai Davian harus aman. Tidak boleh menurun.

Toh, kakaknya pernah berpacaran juga semasa SMA. Jadi, apa salahnya?

Tapi kembali lagi pada diri Davian. Ia lebih suka seperti sekarang. Berteman baik dengan adik salah satu kakak di kos-annya. Kalau sudah menjalin hubungan, pasti akan lebih rumit lagi. Di posisi laki-laki tidak mudah. Mungkin ketika mengajak berpacaran, mereka lebih berani dan lebih gampang tanpa ada kalimat-kalimat buruk dari orang lain saat ia mengungkap perasaan. Tapi, kalau sudah seterusnya, yang berat di pihak mereka.

Davian tahu itu. Dia juga bukan anak kecil lagi, sudah bisa berpikir bagaimana dampak kedepannya untuk dia dan orang yang ia sukai.

Satu hal lagi, yang ia suka itu Naya. Perempuan yang paling tidak suka terlalu serius dalam satu hal. Berpacaran saja Naya tidak pernah.

Dan, perasaan mereka belum isama. 

Mungkin Davian nyaman, tapi belum tentu Naya juga nyaman. Davian memang suka pada Naya, tapi belum tentu Naya menyukainya kembali. Siapa tahu, ternyata Naya sudah menemukan kriterianya sendiri?

Davian tidak pernah sepusing ini sebelumnya. Dan sekarang, pikirannya sedang tidak sejalan dengan hati. Walaupun sudah diberi lampu hijau oleh kakak sang perempuan, nyali Davian masih ciut.

Ya, sepertinya Davian harus berusaha terlebih dahulu.

...

Pagi ini, guru salah satu mata pelajaran mengatakan kalau mereka akan mengadakan ujian. Dan bisa jadi, satu hari penuh, seluruh kelas sepuluh sampai dua belas mendapatkan jam kosong satu hari penuh.

Kelas sebelas minat sosial satu, kelas Rieyan dan Bulan, mulai ribut sejak bel jam pelajaran pertama berbunyi. Ada yang menjadikan meja sebagai panggung, sapu sebagai gitar, dan botol minum untuk microphone.

Jam kosong yang diisi dengan gila-gilaan bersama teman memang memberi kesan berbeda.

Dan harusnya, perempuan yang duduk di sebelah Bukan dapat menikmati keriuhan kelas tanpa ada perasaan yang mengganjal di benaknya. Terlebih lagi, dikarenakan oleh pemuda itu.

Saat pulang dari kerja kelompok beberapa saat lalu, Bulan dengan keberanian penuh, menyampaikan apa yang ia rasakan dan mengajak perempuan itu untuk kembali seperti mereka dulu, before that accident, which made them separate for a while.

Aleena bukan tidak mau, tapi dia berpikir dua kali. Mereka pernah menjalin hubungan, tapi kandas karena hal tidak mengenakkan dan trauma tentu masih membekas pada diri Aleena. Walaupun ia tahu kalau Bulan sudah lebih baik dari sebelumnya.

Aleena pura-pura tidak peduli saat Bulan mulai duduk di bangkunya setelah kembali dari bangku Rieyan untuk mengganggu laki-laki itu. Kejadian tersebut sudah seminggu yang lalu, namun baik Aleena ataupun Bulan, tidak ada yang menjawab atau bahkan sekedar berbincang seperti sebelumnya. Mereka hanya berbicara jika ada kerja kelompok dan tidak pernah keluar dari konteks. Bulan juga seperti tahu diri, tidak mencoba untuk mengungkit hal yang justru membuat kedua pihak tidak nyaman.

Aleena memilih fokus pada ponsel di tangannya. Pura-pura tidak peduli dengan atensi laki-laki bernama Bulan tersebut. 

Sama seperti laki-laki itu, yang mencoba untuk membiarkan perempuan di sebelahnya diam. Banyak pertanyaan yang terlintas di pikiran Bulan. Tidak dapat ia utarakan, melihat Aleenayang sepertinya malah tidak nyaman setiap ia mengungkit perihal perasaan. 

Padahal Bulan tidak meminta lebih, karena ia tahu, akar permasalahan ada di dia. Sepertinya Bulan akan menunggu lagi, sampai sang gadis akan memilih. Walaupun yang ia ingin hanya satu, sebuah jawaban. 

Iya atau tidak.

...

Tangan Bulan sibuk mengetik sesuatu dengan mata yang terfokus pada layar laptopnya. Ya, Bulan akan menyelesaikan tugas sekarang, lalu tidur dengan nyeyak. Ia tidak mau jika terus kepikiran soal tugas, ia akan terbangun lagi dini hari.

"Gila ya, tugas sebanyak ini dikumpul lusa. Enggak tau apa kita udah pulang sore banget, belum les, belum ekskul, belum organisasi, tapi dikasih tugas numpuk di hari yang sama sebanyak ini." Omelnya. Dengan tangan yang tetap saja bergerak dari satu huruf ke huruf yang lain. "Ya ampun, gue mau teriak."

"Teriak aja."

"Anj—" Bulan dengan cepat menepuk bibirnya. Melayangkan tatapan tajam pada sosok laki-laki tinggi berpipi tembam yang tengah tertawa kecil melihat reaksi sahabatnya. "Lo kalau mau datang minimal ya panggil dulu, atau ketuk pintu. kagetin orang lain terus lo kalau datang ke kamar gue. Ke kamar bang Diego lo kaya gitu pasti langsung ditarik balik ke kamar."

"Cerewet banget kaya habis berantem sama doi." Balas Rieyan dengan suara kecil.

"Enggak jelas banget, Yan." Bulan berdecak sebal, meletakkan laptopnya di meja kecil samping tempat tidur. "Lo mau apa?"

"Gue mau cerita," raut wajah laki-laki itu berubah seiring melangkah masuk ke dalam kamar Bulan. Mengambil tempat di bangku meja belajar milik sahabatnya. "Gue pusing, pakai kali deh. Pusing sama tugas, pusing sama orang rumah, pusing sama diri sendiri," Rieyan terdiam sebentar. Kemudian, laki-laki itu menghela napas, "gue juga pusing sama Zyan."

"Lo istirahat. Otak lo capek karena lo terus-terusan mikirin hal yang harusnya enggak lo pikirin." Bulan mulai merapikan posisi duduknya, sedikit tegak. Berusaha untuk berpikir titik pembicaraan yang disampaikan Rieyan. "Enggak semua bisa diselesaikan dengan overthinking, Yan."

"Lan, gue capek." Rieyan mengusap wajahnya gusar. "Gue enggak tahu harus nyesal atau gimana, buat pindah tempat duduk. Zyan berubah. She act like she is not Zyan that i ever known. Gue udah ngambil jalan yang salah, dan malah ngelibatin lo juga dengan buat lo jadi sebangku sama Aleena."

"Lo enggak salah, nothing wrong with that decision. Soal perasaan memang juga buat gue muak, Yan, kalau gue boleh jujur. Gue juga capek, sama diri gue yang masih berharap sama orang yang enggak bakal kembali ke gue." Bulan, laki-laki itu malah melontarkan hal yang sama seperti Rieyan. "Yan, life is not just full of love story. Life, more than that. Hidup lo bahkan bisa lebih indah walaupun enggak melibatkan rasa."

"Gue tahu lo sebenarnya bukan orang yang terlalu memikirkan sesuatu, kecuali memang berharga buat lo. Bahkan lo pernah balik ke rumah tengah malam buat sekedar lihat adik lo yang sakit dan ada di kamar gue atau Arkan karena kita yang lagi ada di titik terendah." Lanjut Bulan. "Gue enggak tahu harus ngasih saran atau ngomong gimana ke lo. But, okay, i'll listen to you right now."

Rieyan menghela napas. "Gue enggak mau berharap lagi ke Zyan, sebagai lebih dari teman. Mungkin gue sama dia cukup sebatas teman yang ketemu dari twitter, enggak lebih. Sebatas mutual media sosial yang berujung dekat, dan ajaibnya, dia teman sekelas kita. Gue mau mulai biasa aja, Lan."

"Selama lo bisa, you can do it! Selama itu baik buat lo, just do it! Gue pasti dukung!" ucap Bulan, menyemangati Rieyan. Yang dibalas senyuman manis yang terpampang di bibir Rieyan.

Ucapan dari Bulan memang selalu bisa membuat Rieyan sedikit tenang. Namun beberapa saat kemudian, Rieyan menggigit bibirnya. Ragu untuk mengajukan pertanyaan. "Lan, lo sama Aleena?"

"Sama kaya lo, gue berhenti berharap. Kalaupun seterusnya cuma sebatas teman satu kelas dan organisasi, ya sudah? Mungkin takdir gue sama Aleena ya sebatas teman doang, enggak bisa lebih. Jalan gue sama dia beda. Pikiran kita juga."

"Lo, baik-baik aja?"

Bukan tertawa kecil, "kalau gue bilang iya, bohong banget, 'kan?" balas Bulan. "Enggak ada yang baik-baik aja pasti, Yan. Apalagi ditekan sama fakta kalau gue sama Aleena enggak sama."

"Lan..."

"Dengar ya Yan, bahkan bunga yang ada di tangkai yang sama, bentuk kelopaknya bisa beda. Apalagi yang dari dasar aja enggak sama?"

...

Wanna sent big love to y'all💖 makasih udah baca! Sayang ke anak-anak semesta tujuh warna dan diri kalian terus ya!

semesta tujuh warna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang