23. tiga warna satu kuas

39 5 17
                                    

"Pagi, Anna!" Diego yang baru saja mau keluar dari pagar, mendadak berhenti lantaran melihat sosok Anna yang baru keluar dari rumah dengan menenteng sepasang sepatu hitam di tangannya. Laki-laki itu berjalan keluar sedikit sembali menunggu perempuan yang sedang memakai sepatu.

Anna keluar dengan wajah ceria, tak lupa senyuman di wajah. Benar kata anak kos waktu itu, Anna anaknya terlalu lembut buat Diego yang terkesan blak-blakan. Perempuan itu menggenggam tali tas, "pergi bareng?" tanyanya.

"Ya, ayo?" Diego mulai berjalan saat Anna menutup pagar. Anna mensejajarkan langkahnya dengan langkah Diego yang tentunya lebih panjang darinya.

"Kak?" Diego menoleh ke arah perempuan di sebelahnya. "Ini seriusan jalan kaki?"

"Terus?" tanya Diego. "Mau naik kendaraan apa emang?"

"Enggak gitu kak, cuma kan..." Anna menggantungkan kalimatnya. "Aduh gimana ya,"

Diego meletakkan tangannya di puncak kepala Anna, tersenyum tipis dan menepuknya perlahan. "Lucu banget sih, Na."

Sebelum Anna mengalihkan wajahnya ke arah lain, Diego sudah tahu kalau wajah gadis itu mulai memerah. Diego justru semakin menjahili Anna dengan menarik pipi gadis tersebut ataupun memainkan rambutnya.

"Kak!" protes Anna.

Sebenarnya sekolah mereka enggak begitu dekat, namun enggak jauh juga. Kalau berjalan sendiri, kerasa berapa jauhnya, tapi kalau berdua ataupun ramai sama sekali enggak terasa. Makanya, kadang Diego, Bulan, dan Rieyan pulang dengan jalan kaki. Ataupun kalau Arkan dan Dipta tidak sibuk, mereka akan ramai-ramai pulang.

"Anna, coba deh hitung berapa langkah kita sampai belokan sana." Kata Diego. "Nanti ada pertanyaan."

Anna mengikuti ucapan Diego. Menghitung langkah kakinya awal ia berjalan menuju belokan yang akan mengarah ke sekolah. Diego tersenyum tipis, lagi, melihat Anna yang terus menuruti perkataannya. Setelah sampai di tempat yang dituju, Anna membalikkan badannya. Namun perempuan itu tidak menemukan Diego di depannya.

Anna menundukkan kepala dan mengerucutkan bibir, mendadak kesal dia dengan Diego. Ia berpikir kalau laki-laki itu pasti mengerjainya. Sampai saat seseorang menepuk pelan bahunya, Anna hampir saja berteriak. Untung dapat ia tahan. Murid sekolah mereka mulai hadir, kalau Anna membuat keributan, bisa-bisa ia menjadi sorot perhatian orang banyak.

Orang yang mengagetkan Anna tadi hanya dapat menyengir tidak jelas melihat wajah masam gadis di sebelahnya. Diego menyamakan langkah dengan Anna. "Gimana? Kerasa enggak jauhnya?"

Anna mengedikkan bahu. Tak peduli eksistensi laki-laki yang ada di sampingnya.

"Coba jalan sampai ke sekolah, enggak perlu dihitung. Lihat ke sekeliling. Bakalan sama enggak rasanya."

Kesal sih kesal, tapi entah kenapa otak Anna justru mengikuti ucapan Diego. Sampai mereka tiba di depan sekolah, laki-laki tersebut memberi aba-aba seperti akan berbicara lagi.

Namun bukannya berbicara seperti biasanya ataupun mengulang pertanyaan sebelumnya, Diego meletakkan tangan kanannya di puncak gadis itu dan tersenyum, "semangat belajar, cantik!"

...

Dulu, sebelum anak kos menjadi tujuh, banyak yang sepantaran dengan Ardehan. Bahkan Ardehan pernah menjadi bagian dari yang termuda di kos-an ini. Banyak yang memilih pindah lantaran dulu, kos-an ini belum begitu aman. Baik yang memang kasat mata atau yang tak kasat mata.

Mungkin karena umur yang enggak beda jauh, dan dia dan anak kos yang lama, rasanya lebih dekat. Yang benar-benar seumuran dengan Ardehan ada Leon, Wisnu, Kori, sampai Jidan. Mereka satu sekolah, ralat, yang ada di kos tersebut selalu berada di sekolah yang sama. Dan yang paling dekat dengan Ardehan namanya Wisnu. Laki-laki itu masih membantu Ardehan. Padahal kampus dan kos tidak lagi sama.

semesta tujuh warna Where stories live. Discover now