29. tentang sang bungsu

29 6 17
                                    

Menjadi anak ketiga dari tiga bersaudara atau anak bungsu tidak selamanya bahagia seperti yang dipikirkan orang di luar sana. Tidak selamanya seorang anak bungsu akan terus dimanja. Tidak selamanya seorang anak bungsu selalu mendapatkan apa yang ia mau. Tidak selamanya, menjadi anak bungsu adalah sebuah impian.

Dan ini yang dirasakan seorang Keanu Aldavian. Enam belas tahun ia hidup, tak jarang ia merasa ingin lahir kembali lalu menjadi anak pertama ataupun anak tengah, bukan seorang anak terakhir. 

Sebenarnya seru saja menjadi anak bungsu, jika jarak umur dengan yang lebih tua tidak terlampau jauh seperti Davian. Ia dengan kakak keduanya saja berbeda sepuluh tahun. Dan dengan kakak pertamanya, jarak umur mereka tiga belas tahun. Umur mereka terlampau jauh dan apa saja yang terjadi pada masa remaja mereka tentu berbeda.

Jika saat kakaknya remaja mereka akan lebih memilih di luar sambil bermain dengan temannya, Davian justru di rumah dengan ponselnya. Entah bermain game atau menonton film atau mungkin video, terkadang jika ia sedang ingin belajar, ia akan menonton video pembelajaran.

Jika saat kakaknya remaja, uang lima ratus rupiah dapat membeli satu bungkus cemilan, berbeda dengan Davian yang harus mengeluarkan lima ribu rupiah.

Hal sepele seperti ini selalu menjadi perdebatan antara dirinya dengan kakaknya.

Ia selalu dibandingkan dengan mereka. Padahal sudah jelas, jaman saja berbeda.

Kakaknya sering mengatakan kalau davian selalu bermain ponsel tanpa peduli lingkungan sekitar. Davian selalu dibandingkan dengan adik teman mereka yang mungkin lebih masuk ke dalam kriteria kakaknya, kriteria adik yang baik.

Davian tak jarang mendapatkan perkataan seperti dia yang malas, tidak menurut, bahkan bodoh dan tidak berguna. Padahal Davian hanya membuat kesalahan kecil. Ibunya peduli, tapi karena waktu yang tersita untuk pekerjaan, ibu davian jarang mengajak anak laki-lakinya berbicara.

Dan Davian tidak pernah mengatakan hal ini pada ibunya.

Saat masuk sekolah menengah atas, Davian memilih untuk masuk ke sekolah yang cukup jauh dari rumah. Didukung dengan nilai ujian yang di atas rata-rata, ia memilih jalur prestasi. Harus melalui ujian masuk yang cukup sulit, saingannya banyak.

Saat tahu kalau Davian lulus, ia mengatakan pada ibunya kalau ia memilih untuk kos. Dari pada harus bolak-balik sekolah-rumah yang tidak dekat dengan sepeda motor. Awalnya ibu Davian tidak setuju, tapi dengan bujukan dari kakaknya, akhirnya perempuan paruh baya itu setuju.

Dua kakak Davian tidak jahat, hanya saja mereka tidak paham bagaimana Davian. Davian tidak berbohong kalau kakaknya baik, sangat baik padanya. Tapi kadang mereka mengungkit hal tersebut kalau Davian salah.

Dan davian juga tidak sanggup lagi, kalau harus satu rumah dengan kakaknya. Sudah lelah karena belajar, lelah karena mentalnya terus dihajar tanpa henti. Ia seperti robot di rumah, harus tahan dengan apapun.

Setelah pindah, Davian kira ia akan aman. Ternyata tidak, bahkan dua minggu pertama, ia sudah mendapatkan pesan dengan perkataan kurang enak.

Salah Davian apa sih? Sampai kakaknya tidak pernah membiarkan Davian tenang, barang sejenak.

Untung saja, ia mendapatkan abang-abang kos yang baik dan mau menganggapnya sebagai adik. Terlebih lagi ada Ardehan, tetangganya dulu.

Segala hal dalam hidup Davian pasti ada kata 'tapi'. Lagi-lagi ia harus menggunakan kata-kata itu. Ia yang tidak sedekat itu dengan yang lain, hanya dapat melihat tanpa bisa membantu saat kakak-kakaknya tidak dalam keadaan yang baik.

Seperti waktu itu, saat Arkan sedang berada di titik terendah sampai melukai dirinya sendiri, Davian hanya dapat membantunya dengan memanggil kakak yang lebih tua. Atau saat Rieyan, Dipta, atau Bulan kembali dengan wajah masam, lagi-lagi ia hanya dapat menanyakan apa mereka baik-baik saja.

Davian selalu merasa tidak enak, tapi dia hanya diam. Berusaha untuk terus baik-baik saja. Lagi pula mereka hanya sebatas teman satu kos, tidak harus tahu kehidupan masing-masing.

Tapi ada satu hal yang ia tahu, namun anak kos yang lain tidak tahu---atau mungkin tidak sadar.

Orang yang ia suka adalah adik dari kakak satu kosnya. Arkan.

Alisya Inaya, perempuan yang menjadi teman sebangkunya saat masa pengenalan lingkungan sekolah itu dapat membuatnya jatuh.

Semakin rumit saja hidup Davian.

Memang ya, semakin beranjak dewasa, hal yang akan terjadi juga bertambah. Enggak hanya baik, tapi juga yang ingin dihindari.

Seperti hari ini, mereka bertujuh memiliki rencana untuk menonton bersama di kamar Dipta seperti waktu itu, tapi kali ini dengan anggota lengkap.

Dipta sudah menyiapkan film dengan layar tancap, proyektor yang ia bawa dari rumah saat kembali seminggu yang lalu. Diego dan Bulan yang membeli cemilan dan sisanya tinggal di kos.

"Lo mau nonton apa emangnya, A'?" tanya Rieyan yang sedang mengambil posisi nyaman.

Dipta mengendikkan bahu, "entah. Gue juga belum tahu. Gue download apa aja yang lagi naik daun."

"Bulan tuh jago kalau soal film, kerjaan dia kan streaming mulu." Kata Arkan.

"Udah enggak ya! Gue udah sibuk. Mau nonton juga dikejar tugas sama kerjaan gue yang lain." Bantah Bulan.

Rieyan memasang tatapan meledek ke arah Bulan, membuat laki-laki itu berdecak sebal sambil memilih film yang akan ditonton dari laptop milik Dipta.

"Davian, lo mau ikut pilih enggak?" tawar Bulan pada Davian yang dari tadi hanya diam memandangi kakak-kakaknya, walaupun sesekali ia ikut membantu untuk mengangkat barang-barang ke atas meja dan menyusunnya.

Davian mengangguk, "boleh." Jawabnya.

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih sepuluh menit untuk memilih, mereka akhirnya menonton film pilihan Davian. Katanya ia sudah ingin menonton film ini sejak kemarin, namun tak sempat.

"Gue kira dia ngegantung di awan! Ternyata dia yang bangun mimpinya sampai bisa bengkok kaya gitu jalannya!" sepanjang pemutaran film, Rieyan dan Diego yang paling ribut. Berkomentar tanpa henti tiap detik.

"Lo direkomendasiin sama siapa, dek? Kok gue baru tahu film ini bagus?" tanya bulan.

"Naya, Kak. Dia cerita tentang film ini, gue penasaran. Pas banget A' Dipta ada mengunduh film ini, ya gue pilih ini." Kata Davian. "Dia semangat banget waktu cerita. Kan bisa ada bahan pembicaraan sama dia kalau gue udah nonton."

Bulan diam. Yang lain juga. Apalagi laki-laki yang duduk di sebrang Davian, paling sudut. Hanya dapat memandangi anggota termuda dengan raut wajah tidak percaya.

Siapa yang percaya kalau ternyata Davian benar-benar dekat dengan adik dari Arkan?

Terlepas dari Davian yang selalu mengelak, anak kos-an juga baru tahu kalau Arkan memiliki abang serta adik yang bersekolah di tempat yang sama dengan mereka. Walaupun memiliki hubungan yang kurang baik.

Davian tidak pernah cerita, setidaknya Arkan kan bisa mendekatkan mereka. Dalam artian lebih dari teman.

Mereka jadi diam. Menonton tanpa mengeluarkan suara. Atmosfer yang dirasakan davian justru canggung, ia bingung kenapa jadi seperti ini. Kenapa juga ia harus mengatakan hal itu di depan kakak-kakaknya, terlebih lagi ada kakak sang perempuan di sini.

Film telah selesai lima belas menit yang lalu, namun mereka belum beranjak dari kamar Dipta. Masih duduk dengan mata yang tertuju pada ponsel di tangan.

Arkan sudah gatal rasanya untuk tidak berbicara dengan Davian perihal laki-laki yang menyukai adiknya. Bukan berniat untuk ikut campur, tapi hanya ini yang dapat ia lakukan. Ia tidak yakin Naya akan menyukai Davian, tapi kalau tidak mencoba, bagaimana mau melihat hasil?

Akhirnya, setelah melewati perdebatan dengan pikirannya sendiri, Arkan mulai mengeluarkan suara.

"Iyan," ia memanggil Davian dengan nama panggilannya. Setelah Davian menoleh ke arahnya, Arkan dengan cepat melanjutkan ucapannya. "Kalau lo memang serius, lo mau enggak, gue bantu buat dekat sama Naya?"

...

Mohon maaf lahir batin, guys!

semesta tujuh warna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang