13. how

53 13 32
                                    

Setelah suara Bulan yang membuat empat orang di kamarnya bangun, mereka ber-enam memilih berkumpul di ruang tengah. Walaupun ini permintaan Rieyan karena dia bakalan gabut kalau dibiarkan sendiri, padahal dia enggak berani di luar sendirian.

Rieyan di luar aja berani, di dalam tetap aja takut kalau sendirian. Enam orang yang berkumpul di ruang tengah itu fokus dengan kegiatan mereka masing-masing. Davian, Arkan yang memilih menggulir layar ponsel mereka, Rieyan, Bulan, Dipta, dan Diego yang sedang bermain game online.

Benar-benar fokus, sampai tidak menyadari kalau orang yang mereka tunggu sedari tadi sudah berdiri di ambang pintu dengan dua plastik di tangannya.

Martabak telur kesukaan Rieyan dan Arkan. Ardehan membelikan makanan itu karena dia tau jika dua adiknya itu menunggunya walaupun atas permintaan Ardehan. Tapi dia tidak tau jika empat orang lainnya juga menunggunya.

"Kakak pulang!" seru Ardehan. Mereka serentak menolehkan kepala ke pintu masuk, di mana Ardehan berdiri dengan dua plastik di tangan kanan dan kirinya.

"Halo mas Ardehan! Gimana nih harinya? Lancar enggak?" Rieyan dengan cepat meletakkan ponselnya dan berjalan ke arah Ardehan. "Ini buat gue kan mas?"

Ardehan mengangguk pelan dan ikut berjalan masuk ke dalam rumah kosnya. Laki-laki itu mengambil tempat di sofa yang berada tepat di sebelah Davian. Davian yang ada di sebelah Ardehan hanya dapat menahan rasa gugupnya. Yah gimana, Davian sudah lama banget enggak berhadapan langsung sama Ardehan, lagi pula kalau di kos, Ardehan lebih sering pulang telat dan Davian selalu tidur lebih awal, jadi jarang ketemu.

Yany bikin Davian takut sama Ardehan juga karena omongan kakak-kakaknya yang lain. Julukan galak di Ardehan seakan mendarah daging. Wajah Ardehan juga mewakili bagaimana watak laki-laki itu. Wajah datar dan sulit senyum itu. Padahal tetap aja, di kos ini enggak ada yang benar-benar normal. Ada aja tingkah yang buat orang lain enggak percaya kalau misalkan tingkah mereka di satukan dengan bagaimana mereka biasanya.

Wajar, Davian baru beberapa bulan, bahkan belum sampai dua bulan ada di kos-an ini.

"Buat gue di belakang jangan dimakan ya. Sengaja gue sisahin buat besok. Lumayan buat sarapan siap lari." Kata Rieyan yang baru saja kembali dari dapur.

"Yah, gak adil dong. Makan aja di sini bareng-bareng." Ucap Diego. "Mas Ardehan, makasih so much ya."

"Benerin dulu kosa kata lo," ucap Dipta dengan tangannya yang memukul belakang punggung Diego dengan pelan.

"Salah mulu gue," gumam Diego. "Eh, apa kabar mas itu teteh Deya kesayangan seluruh anak kos?"

"Yah baik. Kalau gak baik kita gak bakalan dapat makanan kaya gini." sahut Rieyan yang mendapatkan injakan kaki dari Bulan. Iya, laki-laki yang sedang duduk di sofa itu menginjak kaki Rieyan yang masih berdiri. "Apa sih Lan?" sinisnya pada Bulan.

"Lo sih ngeselin." Jawab Bulan sambil mengambil tempat di sebelah Rieyan.

"Kalian tau?" tanya Ardehan.

Yang lain hanya mengernyitkan dahi, bingung ke arah mana ucapan Ardehan.

"Mas nyoba nembak teh Deya?"

"LAH JADI BENERAN MAS??"

Teriakan dari Diego sukses mendapatkan tepukan kuat dari lima orang lainnya. Ardehan hanya ketawa kecil menanggapi reaksi adik yang berada dua tahun dibawahnya ini.

"Heh udah, sakit woi!" ucap Diego yang berusaha melepaskan tangan lima orang lainnya yang masih betah memukuli badannya. "Yah kan gue gak tau."

"Lo mah taunya apa," ucap Dipta.

semesta tujuh warna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang