E. Tak Boleh Memilih

93 98 3
                                    

"Biasanya kita bingung dan pusing dalam urusan memilih. Namun bagaimana rasanya jika kita tak diperbolehkan memilih?"

—Aku bertanya perihal dirimu

Setelah perdebatan panjang dan silang pendapat antara aku dan Pak Camat yang berujung pada situasi canggung serta saling mendiamkan, akhirnya pagi ini kami mulai bertegur sapa kembali. Meski tidak sehangat sebelumnya, tak seperti biasanya. 

"Pak Adnan, kita harus segera menyelesaikan semua tugas yang ada, pokoknya harus beres hari ini," ucapnya saat kami bertemu di tempat absen.

"Memangnya akan ada pejabat yang datang ke kecamatan kita, Pak? Bukannya bulan ini semua jadwal kunjungan dibatalkan karena masih awal keadaan New Normal?" tanyaku sedikit heran dengan perintah Pak Camat, mungkin ia lupa.

"Apa anda lupa? Bu Icha mengundang kita ke acara kelahiran anaknya yang pertama besok, kan?" Pak Camat balas bertanya tanpa sedikitpun menatapku, cuek sekali.

"Ah ... saya lupa," desahku sambil menepuk dahi, "akan segera saya beritahu semua Kasi per bagian." Aku mengangguk pelan lantas buru-buru masuk ke ruanganku. 

Astaga, bagaimana mungkin aku bisa lupa akan acara yang istimewa bagi teman baikku. Pantas saja Icha akhir-akhir ini tak kelihatan di kantor, ternyata anaknya sudah lahir. Aku langsung membuka laci mejaku dan mencari undangan yang sudah diberikan oleh Icha.

Kudapati undangan itu menyelip di antara buku-buku informasi program kerja dalam keadaan berdebu. Segera kubuka plastik pembungkusnya dan kucari tanggal acaranya. Benar kata Pak Camat barusan, tradisi menyambut kelahiran bayi itu akan dilangsungkan besok, yaitu pada hari minggu. Berarti aku mesti kerja lembur hari ini, sungguh melelahkan. 

Omong-omong soal hari yang melelahkan, aku jadi teringat kejadian di Resto Huang Seafood. Insiden dimana aku membantu Imelda lolos dari pertemuan yang tidak ia harapkan itu. Sekejab kembali kurasakan tamparan yang masih terasa hangat di pipiku, kala ia begitu menikmati peran di atas panggung sandiwara yang kami buat sedemikian rupa. Aku jadi lupa menceritakan perkara Pak Malik kepadanya, bahkan lupa untuk sekedar menanyakan nomor teleponnya. 

Tunggu, apa ia punya handphone? 

Masih banyak yang belum kutahu soal dirinya. 

* * * * * * * * * *

"Kumohon, Adnan. Aku benar-benar butuh bantuanmu sekarang." ucap Imelda sambil sesekali mengusap air matanya yang menetes semakin banyak.

Satu-dua orang yang lewat sempat memperhatikan kami berdua, mengira aku dan Imelda sedang bertengkar hebat layaknya sebuah tontonan saja. Aku menghela napas dan mengusap kepalaku yang mulai basah dengan rintik-rintik hujan.

"Imel, bukannya aku tak mau, tapi kamu seharusnya tahu kalau aku tidak ada kaitannya dengan semua itu. Kamu masih bisa menolaknya dengan cara yang lebih baik dan sopan, bukan dengan terus lari tanpa memberi sebuah kepastian." tuturku menasihati Imelda yang tersedu pelan, lantas menangis dalam diam.

"Percuma, kedua orang tuaku sudah dibutakan oleh iming-iming kerjasama yang sangat menguntungkan. Aku rasa diriku sudah tidak dianggap sebagai anak lagi oleh mereka, selain aset rusak yang dengan beruntungnya mampu menarik hati pria yang sama sekali tak kukenal. Mungkin memang inilah takdir bagiku." Imelda kembali menangis sesenggukan, napasnya mulai tak teratur.

"Apa maksudmu, Mel? Jangan sembarang menduga soal kedua orang tuamu! Boleh jadi mereka memiliki tujuan dan niat yang baik, masa depanmu segalanya bagi mereka, Imelda." kataku yang tak tahan melihat tangisan wanita ini, bagaimanalah.

Konsonan Cinta yang Hilang Vokalnya ✔ (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang