A. Kali Pertama Kita Berjumpa

135 104 6
                                    

"Kamu memang berbeda, tapi aku benar-benar tak bisa untuk memandangmu sebelah mata."

-Aku yang dimabuk cinta

Tepat pada pukul tujuh pagi aku sudah selesai mandi dan sarapan, satu jam lagi tersisa untuk berangkat ke kantorku yang berjarak lumayan jauh dari rumah. Jadi, aku lebih sering menggunakan mobil.

Aku memang terbiasa untuk bangun menjelang subuh sejak duduk di bangku SMP, karena saat itu aku dimasukkan ke pondok pesantren oleh orang tuaku. Kalau kau sedang berada di Kota Bengkulu, mampirlah sejenak ke sana. Lokasinya tak jauh dari Universitas Bengkulu. Namun harap maklum, jika pemandangan yang indah masih terbentang luas di sekitarnya. Hutan lebat di sekelilingnya, tampak asri nan alami.

Bahkan pernah saking alaminya pada suatu malam saat aku dengan teman-temanku kebagian jatah ronda, segerombolan babi hutan berkulit hitam legam macam arang lewat dengan santainya persis di hadapan kami berjaga. Seperti sebuah keluarga yang hendak mudik lantaran hari raya saja, dua ekor babi besar betina-jantan berada di depan dan babi-babi mungil mengikuti dari belakang. Berbaris rapi dan bersenandung ria bersama. Amboi.

Singkat cerita, setelah lulus SMP di pondok pesantren yang dianggap sebagian orang amat sangat terbelakang pendidikan umumnya terutama di bidang sains dan matematika. Aku putuskan untuk melanjutkan sekolah ke pulau jawa, tepatnya di Kota Solo. Pondok Pesantren yang amat sangat menekan para santrinya untuk menjadi generasi saintis dan melek terhadap perkembangan zaman. Jadi jangan heran saat tahu kami lebih mengusai bahasa inggris ketimbang bahasa arab. Bukannya kami pemuda muslim yang sekuler, tapi berusaha untuk jadi ujung tombak dalam hal teknologi dan sains. Ini semua semata-mata demi membungkam prasangka atas mereka yang hanya memandang sebelah mata. Orang-orang seperti inilah yang kubenci, selalu meremehkan dengan tatapan mata sinis seolah mereka adalah yang paling berhak untuk melakukan eksekusi.

"Pagi, Pak Adnan," sapa salah seorang staf kantor yang melambaikan tangannya padaku, ia baru tiba dan mengisi daftar hadir di depan ruanganku. Sekarang absen di kantor kecamatan sudah menggunakan sidik jari, jadi jangan harap bisa membolos dan mendapat gaji buta dengan kerja berleha-leha. Bahkan orang seberkuasa Pak Camat pun harus patuh dan membiasakan diri untuk berangkat pagi. Akulah orang yang mengusulkan ide ini, cukup praktis dan efesien.

"Pagi juga, Pak," sahutku seraya membalas lambaian tangannya.

Sesudah apel pagi rutin seperti biasanya, kegiatan kami berjalan seperti biasanya. Tanpa ada kendala satu pun, hingga pagi yang indah dan tenang ini dirusak oleh kejadian paling memalukan terkait kecurangan pihak karyawan. Sekaligus menjadi pertemuan pertamaku dengan seorang perempuan yang sukses membuat hatiku tertawan.

* * * * * * * * * *

"Ada apa ini?!" seruku yang langsung membuka pintu ruangan bagian pengurusan KTP yang sedari tadi terdengar ribut dan berujung pada bunyi gelas kaca yang pecah.

Aku segera bergegas masuk ke ruangan itu dan mendapati perempuan muda berhijab tengah menunduk di hadapan Pak Malik yang bertugas mengurus berbagai macam keluhan terkait masalah KTP. Hampir saja aku menginjak pecahan gelas kaca yang berserakan tepat di depan pintu.

"Ah, Pak Adnan ...." Pak Malik seketika berdiri dari tempat duduknya begitu mengetahui aku masuk ke ruangannya. "Bukan masalah besar, Pak. Perempuan ini dari tadi sibuk menuntut saya yang sudah berupaya keras mengurus KTP-nya yang hilang. Padahal sudah saya beritahu ... sabar!" ucap Pak Malik sambil mendelik kepada perempuan itu yang masih menunduk.

"Sudahlah, Pak ....," kataku sambil mendekati perempuan tersebut dan berusaha mengklarifikasikan keluhan atas KTP miliknya, "betul yang dikatakan Pak Malik ini, Mbak. Beliau sudah berusaha mengurusnya dengan baik, anda tinggal sabar menunggu saja. Nanti jika sudah sele ...."

"Pak, saya ini sudah cukup bersabar selama ini!" sergah perempuan tersebut. Belum habis ucapanku, sudah dipotong dengan tegas olehnya.
"Enam bulan saya mengurus KTP yang hilang, tapi mana hasilnya? Minggu lalu pun saya sudah membayar Pak Malik ini dengan sejumlah uang yang cukup banyak. Mau sampai kapan saya disuruh sabar?!"

Astaga, aku tak menyangka sama sekali kepada Pak Malik yang selama ini berbuat demikian. Tak kuasa diriku mendengar ada kecurangan terselubung seperti ini. Bagaimanalah, terlebih lagi saat tahu kalau perempuan berhijab merah muda tersebut mempunyai kekurangan yang sayangnya justru dimanfaatkan. Benar-benar keterlaluan.

"DASAR GADIS KURANG AJAR!!! Kalau saja kau tidak ...,"

"CUKUP, PAK MALIK!" Aku berteriak lebih kencang hingga langit-langit ruangan terasa menggema. "Anda tidak berhak mengatakan hal itu, Pak. Saya tak akan pernah membiarkan anda duduk manis lagi di ruangan ini, Pak Malik. Silahkan pulang dan istirahat lebih cepat untuk hari ini!"

Sejurus kemudian Pak Malik memandangku dengan tatapan penuh benci. Dia ambil kunci mobil di atas meja kerjanya dan keluar dari ruangan tersebut dengan membanting pintu sekeras-kerasnya.

"Maafkan rekan kerja saya itu, Mbak. Mungkin beliau sedang ada masalah pribadi. Saya sebagai Wakil Camat di kantor ini mohon maaf yang sebesar-besarnya pada anda," kataku seraya menundukkan kepalaku, berharap respon yang baik dari gadis tersebut.

"Ah, tidak apa-apa, Pak. Yang jelas saat ini saya sedang amat membutuhkan KTP sebagai syarat pendaftaran kerja bagi disable people seperti saya ini." Gadis berhijab merah muda itu tersenyum menampakkan giginya yang putih cemerlang, tak lupa matanya yang berwarna biru itu mengerjap pelan.

"Emm ... Apa anda sudah makan siang? Bagaimana jika saya traktir sebagai permintaan maaf?" aneh rasanya jika melihat gadis tersebut harus pergi seorang diri, tanpa ada seorang pun yang mendampingi.

"Apa anda merasa kasihan kepada saya yang buta ini?" gadis ini malah tertawa pelan sambil membenarkan letak hijabnya yang sedikit terlipat.

Tunggu dulu, dia membenarkan letak hijabnya? Apakah dia benar-benar penyandang tunanetra? Atau jangan-jangan gadis ini hanya berpura-pura?

Berbagai macam prasangka duga segera mengisi kepala hingga pusing sendiri aku dibuatnya. Tidak. Mana mungkin gadis manis nan alim ini berdusta akan kekurangan miliknya. Sungguh tak etis, tidak profesionalis.

"Bukan begitu maksud saya, Mbak." Lagi-lagi aku spontan memanggilnya dengan sebutan itu, "saya hanya menawarkan sedikit waktu istirahat saya untuk menemani makan siang anda, bagaimana?"

Aha, apakah ini sudah cukup sopan? Aku tak tahu harus berbuat apa selain mengajak makan siang bersama, tentu karena cuma ini alasan paling relevan yang terpikirkan olehku. untuk membuat gadis ini sedikit berlapang dada. Takutnya insiden dengan Pak Malik tadi bisa diekpos ke publik, insting dan firasatku berkata demikian.

"Baiklah, Pak Wakil Camat yang budiman. Saya terima ajakan anda untuk makan siang bersama." Gadis berhijab ini lantas berjalan perlahan ke arah pintu keluar dengan bantuan tongkat berwarna putih dengan garis merah horizontal. The White Cane, alat bantu mobilitas bagi mereka yang mengalami gangguan pada indra penglihatannya.

Entah kenapa dari sekian banyak wanita di kota ini, hanya gadis inilah yang pertama kali kuajak untuk makan siang bersama. Padahal biasanya aku tak terlalu acuh soal makan siang. Mau di mana pun itu, dengan siapapun. Tak jadi soal. Sejak kapan aku memiliki rencana agenda makan siang bersama? Dengan seorang gadis tak dikenal pula. Sungguh, aku tidak kenal dengan diriku yang sekarang ini.

"Tidak, ini bukan makan siang bersama," sahutku yang sontak membuat gadis itu membalikkan badan dan melayangkan pandang ke arahku.

"Lalu, anda ingin menemani saya apa?" Gadis itu seolah bisa membaca pikiranku yang kini terasa kacau, tatapannya itu seakan mampu menembus apa yang ada di dalam benakku. Baiklah, aku sekarang merasakan keringat dingin mulai menjelajahi telapak tangan dan kakiku. Grogiku terhadap wanita kambuh. Sialan.

"Makan siang berdua," jawabku asal, singkat dan jelas.


TO BE CONTINUED..

Konsonan Cinta yang Hilang Vokalnya ✔ (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang