25 | B a g a s k a r a

160 7 2
                                    

Dering bel istirahat kedua terdengar keras sekali di telinga. Sebenarnya biasa saja, hanya saja bagi telinga-telinga siswa yang sudah menantikannya itu terdengar beberapa kali lipat lebih keras. Seperti telinga milik empat lelaki tampan itu.

Alva, Althaf, Aldo, dan Alan.

Keempatnya kini berjalan sejajar di tengah-tengah koridor kelas 11. Bak pemeran utama dalam serial drama, tidak ada seorang pun yang berani menghalangi jalan mereka. Semuanya menepi atau menghentikan langkahnya untuk memberi jalan bagi keempat lelaki berbadan atletis itu.

"Kantin," ujar Alva kepada Althaf.

"Duluan aja," balas Althaf lalu setelahnya lelaki berambut acak-acakan itu berjalan ke arah yang berlawanan dengan ketiga temannya.

Jangan dikira setelah adu mulut bahkan adu jotos semalam, mereka akan saling mendiamkan Althaf. Tidak. Pertemanan mereka tidak se-childish itu. Bertengkar boleh, asal untuk kebaikan satu sama lain.

"Anjir emang si Althaf," keluh Aldo mulai mengawali aksi mengghibah setelah dirasa Althaf sudah tak lagi bersama mereka.

"Yoi. Dengki gue sama dia," sahut Alan membenarkan.

Alva yang belum juga paham kemana arah pembicaraan ini jadi sewot. "Kenapa sih, ah elah. Kagak nyambung gue."

"Gimana tadi ulangan lo? Lancar?" tanya Aldo sirik. Kedua bola matanya melirik Alva begitu dengki, sangat dengki.

"Woo ya jelaslah, Saudara!" jawab Alva enteng tak peduli lirikan tajam Aldo yang sangat mirip dengan banci yang wig-nya ditarik sampai copot.

Mereka baru selesai mengerjakan UH matematika. Sebenarnya hari ini adalah jadwal UH di kelas XI IPS 1; kelas Alva dengan Althaf. Berhubung minggu lalu Aldo dan Alan yang dari kelas sebelah bolos bersamaan tepat saat UH dilaksanakan di kelasnya, alhasil keduanya menyusul UH tersebut hari ini.

"Oke, lo sih yang lebih gak ada akhlak dibanding Althaf," sirik Aldo masih tetap dengan lirikan bancinya.

"Lah, salah?"

"Selama ulangan, lo anggap kita apa sih, hah? Cicak yang kebetulan lagi nongkrong di kelas?"

Tak sampai hati membiarkan Aldo marah-marah sendiri, Alan jadi sumbang suara. Toh ia juga sirik dengan Alva. "Tega bener punya jawaban kagak dibagi-bagi. Pelit kuburan lo sempit."

"Makanya belajar!"

"Lan Lan, tahan gue, Lan," racau Aldo sudah emosi bukan kepalang mendapat balasan seenak udel dari Alva.

"Do Do, tahan gue juga, Do. Gatel banget nih tangan pingin nonjok dia," racau Alan ikut-ikutan. Cowok itu melingkarkan paksa kedua tangan Aldo ke depan dadanya, bermaksud menghalaunya untuk menonjok mulut songong Alva.

"Yee si bego," cibir Alva tak peduli. Cowok itu bahkan enggan menghentikan langkahnya hanya untuk menyaksikan keributan unfaedah dua temannya itu.

"Sendirinya ngelirik jawaban Althaf sok-sok ngasih tau orang buat belajar. Belajar lo semalem?" teriak Aldo.

"Belajar lah!" sahut Alva juga berteriak. Kali ini ia membalikkan badan, bertatap wajah dengan ekspresi dengki Aldo dan Alan di belakangnya.

"Lan, semalem dia balik jam berapa, ya? Lupa gue."

"Pikun!" sahut Alva lagi sebelum kembali melanjutkan langkah memasuki area kantin sekolah.

"Sebelas kayaknya. Nyampe rumah langsung teler pasti, gue yakin."

"Gue juga yakin. Belajar? Mana sempat, keburu rebahan."

Alva menghela nafasnya malas karena dua manusia dengki itu tak juga menghentikan ocehannya bahkan saat pantat mereka mendarat di kursi kantin. "Mau makan apa lo pada? Biar gue beliin," tawar Alva.

BAGASKARAWhere stories live. Discover now