Addo mendesah dan menggeleng. "Aku benar-benar minta maaf atas kalimatku tadi."

"Aku sudah maafkan. Tapi... bagaimana jika itu betulan terjadi? Bagaimana jika..."

"Ssshh Matt, dengarkan aku. Semua orang akan meninggal, oke? Tapi ayahmu, ibumu, saudaramu, atau orang-orang yang kau kenal dan sayang, mereka tidak akan meninggal hari ini. Tidak juga besok, tidak dua hari lagi, tidak minggu depan. Jangan khawatirkan itu. Semua ada waktunya."

Kriiinngggggggg!!!!

"Pas sekali bel berbunyi," gumamnya lalu mengambil buku, bersiap meninggalkan homeroom.

"Thanks Do," Matt tersenyum simpul. "Aku konyol. Apa yang kau katakan itu benar."

"Tidak usah dibahas lagi, oke? Ayo ke kelas."

Matt mengangguk dan mengambil tasnya. Jam pertama mereka adalah biologi dan mereka sekelas, jadi bersama-sama mereka pergi ke lab. Tapi selama pelajaran, Addo tidak bisa konsentrasi, sejujurnya. Carol memang tidak kembali setelah pergi dari homeroom—yang mana jelas bahwa dia pasti membolos. Selagi guru biologi mereka menerangkan tentang perbedaan sel hewan dan tumbuhan, Addo membenturkan kepalanya pelan ke permukaan meja kayu lab dan menyumpahi dirinya sendiri karena untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya, dia mengkhawatirkan orang yang sering menindasnya.

"Er... Addo? Kau oke?" Matt berbisik khawatir dari sebelahnya. Addo kembali duduk dengan benar dan hanya mengangguk sebagai jawaban. Matt masih tampak ragu tapi dia tetap menerima jawaban sahabatnya dan kembali fokus ke penjelasan guru.

Mungkin karena aku merasa senasib dengan Carol? Pikir Addo lagi, yang sebenarnya masih berupa pertanyaan. Meskipun berandal itu sedikit lebih beruntung daripada aku karena sempat memiliki ayah.

Pertanyaan baru kemudian menghampirinya; Bagaimana rasanya punya ayah?

Addo menggenggam pena birunya, memainkannya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya ia pakai untuk menyangga pipi kiri. Perasaan itu muncul lagi—perasaan yang persis seperti ada kekosongan didalam diri Addo, dan kekosongan itu menganga lebar selayaknya lubang, menelannya bulat-bulat. Laki-laki beriris mata hazel itu tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki seorang ayah, dan rasanya benar-benar buruk saat dia merindukan sosok ayah-yang-tak-pernah-ia-miliki.

Addo mengarahkan pandangannya ke gambar sel hewan buatan guru biologi mereka di papan. Biasanya Addo akan berbisik-bisik ke Matt bagaimana cara guru mereka menggambar begitu persis dengan yang ada di buku pelajaran mereka, tapi kali ini pikirannya mengambang jauh.

Sedari kecil Addo sudah sering bertanya-tanya dengan keberadaan ayahnya. Dia tidak pernah muncul sama sekali di rumah, dan Addo kecil mengira setiap anak hanya memiliki ibu saja, seperti dia. Sampai ketika suatu hari di di taman kanak-kanak, ia sering melihat teman-temanku dijemput oleh pria yang mereka sebut "ayah", bahkan Matt dan Alice juga punya pria yang mereka sebut ayah. Addo kecil pun bingung, kenapa teman-temannya punya ayah sedangkan dia tidak?

Mamanya sering bilang kalau papanya Addo bekerja dan tinggal terpisah dengan mereka. Addo hanya tahu wajahnya dari foto—foto yang sampai saat ini dia simpan di kamar tidurnya. Waktu itu juga, Addo sempat membenci ayahnya karena 'tega' meninggalkannya sendirian di rumah. Padahal, Addo ingin sekali bisa bertemu dan jalan-jalan dengannya.

Lalu akhirnya ibunya mengatakan hal yang seratus delapan puluh derajat berbeda: ayah Addo sudah meninggal. Waktu itu Addo masih bocah ingusan lima tahun dan tidak tahu apa artinya 'meninggal'. Ibunya lantas mengajaknya ke pemakaman dan memperlihatkan makam ayahnya. Sejak hari itu Addo tahu bahwa papanya selama ini tidur di bawah tanah sana.

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now