Empat Puluh Empat

1.6K 190 20
                                    

Author's POV

"Oke, oke. Nanti aku ke rumahmu." Matt mengakhiri panggilan lalu kembali ke kamar Addo. Lelaki berkacamata itu menemukan sahabatnya berbaring di kasur, menikmati Addo lagu lewat headphone.

"Hei." Matt menginterupsi. Addo berhenti dari kegiatannya, melepas headphone dan bertanya, "Ya? "

"Dia bilang kita bisa ke rumahnya. Nanti dia ajak kita beli baju dan lain-lain."

Addo mendengus malas. "Harus?" Matt hanya mengendikkan bahu sekali, pertanda 'ya begitulah'.

"Akan kupikirkan lagi nanti," kata Addo sembari meletakkan headphone-nya ke atas meja, lalu mengganti posisi rebahan menyamping, memunggungi temannya dan menggerutu akan betapa menyebalkannya acara amal tersebut. Matt mendengarnya dan hendak menyahuti namun dia keburu teringat dengan sesuatu yang lebih penting untuk dibahas.

"Hei ngomong-ngomong ibumu akhirnya mengencani paman itu? Siapa namanya ya? Aku lupa."

"Hugo." kata Addo tanpa berpaling dari layar handphone-nya. Jari-jari tangannya juga bergerak lincah mengetik sesuatu diatasnya.

"Dia tampaknya pria yang baik, ya kan?"

"Memang, buktinya dia memberiku semua peralatan itu."

Matt menghempaskan pantatnya di pinggir kasur Addo, menaikkan kedua kakinya dan kembali duduk bersila santai. Dia menumpukan masing-masing siku pada kedua sisi lututnya, sementara disisi satunya, kepalan tangannya menahan kedua pipinya. Senyum menggoda terulas di wajahnya "Well, bro. Aku punya feeling seseorang akan mendapatkan ayah baru."

Refleks Addo berguling berbalik arah lagi dan menatap Matt. "Maksudmu? Aku?" tanyanya cepat.

"Bukan, maksudku Tyler Milton. Ya kau lah! Siapa lagi?"

Addo mendecak lidahnya sekali. "Aku tidak tahu mereka pacaran atau cuma dekat, for honest. Jadi jangan taruh harapanmu terlalu tinggi." Setelah berkata begitu dia kembali fokus ke layar handphone-nya. Matt belum mengganti topik. "Coba saja pikir, Do, memiliki ayah itu bukan hal yang buruk." Dia mengubah posisi duduknya menjadi tegak. "Meskipun aku tidak tahu bagaimana rasanya memiliki ayah tiri. Tapi tidak semua orangtua tiri itu jahat seperti yang ada di film-film. Paman Hugo adalah pria yang baik. Jadi kenapa tidak?"

"Ya, tapi..." dia melirik ke bingkai kecil berisi foto ayahnya yang ada diatas meja belajarnya. Kata-katanya seketika berantakan didalam benaknya. Hanya memerlukan waktu sekali kedipan mata saja, lubang perasaan kangen didalam dadanya terbuka lagi dan menelannya lagi. Dan Addo tidak bisa mencegah dirinya dari kejatuhan itu. Addo merindukan ayahnya.

"Tidak apa-apa. Lupakan saja."

Matt baru menyerah sekarang. "Yah, terserah kau." Dia mengambil video game-nya dari dalam tasnya dan berpindah tempat ke kursi belajar Addo, mulai asik bermain. Addo sendiri terpaku ke satu-satunya foto ayahnya yang ia punya. Lubang didalam dirinya masih menganga, dan dia masih jatuh jauh sekali ke dalamnya. Dia merindukan Greyson—sangat rindu.

Ayah baru? ulangnya dalam hati, mengingat ucapan Matt beberapa menit sebelumnya. Akan tetapi dirinya dengan mantap sepenuhnya menolak hal itu. Hati kecilnya sangat tidak menginginkan orang lain mengambil posisi Greyson sebagai ayahnya.

Dia menyambungkan headphone kembali ke handphone-nya lalu menyetel lagu, mencoba untuk melupakan semuanya. Termasuk juga soal mencari baju untuk charity night.

***

Boleh dibilang hidup Addo banyak berubah dalam rentang sebulan ini. Hal yang paling mencolok tentunya antara dia dengan Alice. Mereka—Addo, Matt dan Alice—tidak pernah lagi pergi bersama-sama hanya bertiga. Paling sering Addo yang absen, atau kalau mereka pergi bersama, pasti akan ada Logan diantara mereka. Addo juga lebih sering menekuni launchpad-nya di rumah atau di rumah Hugo. Hal lain yang menjadi penambah kedekatan antara Pat dan Madeon.

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now