Tujuh

2.7K 251 24
                                    

Author's POV

Seminggu berlalu dan Addo sudah keluar dari rumah sakit. Tapi sampai sekarang dia masih bertanya-tanya tentang orang yang menolongnya tempo hari. Orang yang sama yang diajak ibunya berbicara waktu itu di rumah sakit ketika ia 'tidur'. Addo yakin sekali dia mendengar suara laki-laki. Tapi kenapa ketika dia mengintip ke sekeliling, yang ada hanya ibunya saja?

Apa ibunya waktu itu berbicara sendiri? Tidak masuk akal. Addo tahu ibunya baik-baik saja.

Belum lagi Addo tuntas dengan pertanyaan itu, dia mendapat kabar lain, kali ini menyangkut dirinya. Beberapa hari yang lalu, tersiar berita di sekolah bahwa Tom, salah satu dari tiga berandalan yang menyerangnya waktu itu meninggal dalam kondisi mengenaskan. Kepalanya hancur. Polisi melakukan penyelidikan, dan menemukan bahwa kematiannya karena kepalanya terbentur ke langit-langit kelas. Terbukti, di ruang kelas 9-2 di langit-langitnya yang putih ada banyak bercak merah sisa darah.

Tapi anehnya, tidak ditemukan satupun bukti bahkan yang sekecil seperti sidik jari mengenai siapa yang pelakunya.

Rod, berandalan yang bertubuh kekar –yang Addo tendang hingga jatuh lalu pingsan– tidak tahu menahu soal peristiwa kematian temannya. Karena ketika kejadian dia sedang dalam kondisi pingsan.

Sedangkan Zach, dia menjadi gila. Sungguh, Addo awalnya kaget tapi dia tidak mengada-axa. Matt dan Alice yang cerita bahwa semenjak kejadian di hari itu, Zach sering berceloteh tidak jelas dan berhalusinasi di sekolah. Awalnya semua orang menganggapnya phobia meski tidak tahu apa yang dia takutkan. Setelah selama dua hari senantiasa berteriak-teriak kencang dan mengganggu semua orang di sekolah, ayahnya mengirimnya ke rumah sakit khusus terapi mental.

Dan Addo sendiri juga menyadari ada yang aneh pada bagiannya, tentu saja! Tidak mungkin dia pindah dari laboratorium tua itu ke rumah sakit dengan sendirinya. Dia ingat waktu itu berakhir tidak sadarkan diri di atas tali... Juga, siapa lagi yang datang ke lab itu? Seperti yang sudah pernah ia katakan, tempat itu tidak pernah diungkit-ungkit lagi ke siswa baru semenjak kasus ayahnya.

Addo menghela napas frustasi.

Ayahnya...

Addo merindukannya.

Anak itu beranjak dari posisi tidurnya, mengambil foto lama ayahnya yang sejak dulu terpajang dalam sebuah bingkai plastik diatas meja kecil disebelah tempat tidurnya. Senyum seketika terkembang diwajah Addo kapanpun dia melihat foto itu. Ayahnya yang di foto masih berusia 15 tahun—setahun sebelum kematiannya datang menjemput.

Difoto itu juga Greyson berdiri memunggungi ombak laut ketika matahari terbit, dengan kedua tangan tersilang didepan dada. Rambut cokelatnya tertiup angin. Ayah Addo mengenakan kemeja putih yang sisi lengannya digulung hingga sesiku, dan celana jeans hitam. Dia tersenyum tepat ke arah kamera. Ibu Addo bilang, kalau sedang jam sekolah ayahnya sering mengenakan kacamata (dan dia akan lebih terpana melihat ayahnya mengenakan kacamata). Addo tertawa sendiri lantaran ia membayangkan saat-saat kedua orangtuanya masih baru-baru menyukai satu sama lain.

Iris hazel Addo menatap foto ayahnya lumayan lama, sambil berkhayal lagi seandainya lelaki itu masih hidup.

Entah seperti apa rasanya memiliki ayah, Addo tidak punya bayangan sama sekali.

"Addo, makan malam!" teriak ibunya tiba-tiba dari bawah, membuyarkan lamunannya.

"Iya, Ma!" langsung ia meletakkan kembali foto ayahnya di tempatnya semula, sebelum turun ke lantai satu untuk makan.

***

Greyson bertanya-tanya jika alasan

Addo senyam-senyum sendiri saat memandangi fotonya adalah mungkin dia baru sadar kalau ayahnya semasa muda tampan juga.

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now