Part 24

979 48 9
                                    

"Halo kak.." sapa Emma ketika tiba di hadapan Ferdi dan Daffa. Sapaan itu ditujukan hanya kepada Ferdi, bukan lelaki tampan yang berdiri di sampingnya.

"Halo, Em.. aku tidak tahu kamu bekerja disini." Jawab Ferdi dengan raut penuh tanda tanya.

"Magang. Tepatnya."

Ferdi merespon jawaban Emma dengan anggukan seraya tersenyum. Melirik Daffa disampingnya yang bergeming menatap Emma tak berkedip dan Emma menunduk tidak nyaman membuat situasi ini menjadi sangat canggung.

"Sudah makan?" Tanya Ferdi memecah kebisuan diantara mereka.

"Sudah kak." Jawab Emma cepat. Melirik jam tangannya, Ferdi membalas "too early...?"

"Ma.. maksudku, aku sedang diet sekarang. Menghindari makan malam." Emma terlihat gugup.

"Oh. Oke. Tapi tidak apa untuk sekedar minum kan? Kami berencana cari makan diluar. Mau join? Aku sudah lama tidak bertemu denganmu, dan lagi ingin sekali mendengar kabar Nadia dan Wina." Ajak Ferdi belum menyerah.

"Mereka baik. Dan sibuk magang sepertiku. Wina magang di Akiesera dan Nadia baru mulai diterima magang di Dwijaya. Mungkin lain kali, kak. Aku sudah ada janji dengan tunanganku malam ini. Dan sepertinya dia sudah sampai di depan. Maaf, tapi aku harus pergi. Terima kasih ajakannya." Jawab Emma terburu-buru, setelah anggukan kecil ia berjalan menjauhi Ferdi dan Daffa menuju keluar. Ferdi sempat ingin menyela kembali namun terhenti oleh tangan Daffa yang menahan tubuhnya.

"Sudahlah. Ayo pergi." Ucap Daffa dengan tenang sambil berbalik menuju parkiran yang berada di belakang gedung.

Sepanjang perjalanan menuju restoran, Daffa termenung sendiri. Pikirannya kembali pada pertemuan mereka tadi. Seulas senyum terukir di wajah tampannya setelah sekian lama.
"Cantiknya Emerald-ku. Rasanya mau mati menahan diri untuk tidak menariknya kedalam pelukanku."

Senyumnya perlahan memudar.

"Tapi kenapa dia terlihat muram? Apakah dia tidak bahagia? Apakah pria itu tidak membahagiakannya?"

Kemudian kembali menyunggingkan senyum ke arah kaca jendela mobil di sampingnya. Menatap kosong keluar jendela.

"Haruskah aku merebutnya sekarang? Keuanganku sudah stabil. Aku sudah mampu membahagiakannya. Tidak ada lagi yang bisa menghalangiku. Aku sudah pantas bersanding dengannya. Apa aku langsung melamarnya saja?"

Lamunan Daffa buyar oleh celetuk temannya.

"Lah dia malah senyam senyum, bung." Ucapnya melirik pada Daffa, membuat Daffa berdeham sambil memperbaiki posisi duduknya.

"Udah lu nyetir yang bener." Jawab Daffa salah tingkah.

"Lu jangan aneh-aneh deh, bro. Udah mau 3 tahun, belom juga move-on. Heran gue."

Celetukan Ferdi membuat Daffa melirik tajam kearahnya. Ferdi mampu merasakan amarah Daffa tanpa perlu menoleh, hingga membuatnya bergidik.

"Gue cuma ngasih saran, bro. Jangan bunuh gue."
Daffa menghembuskan nafas kasar.

"Take it slow, bro. Lu mau gegara lu pepetin dia, dia malah keluar dari perusahaan? Jangan buat dia gak nyaman laah.. Lu ga liat gimana ekspresinya ketemu ama kita tadi?" Jelas Ferdi.

Apa yang dikatakan Ferdi memang benar. Daffa mengakuinya dalam diam. Emerald terlihat tertekan dan gugup di depan mereka tadi. Kalau saja mereka bukan atasan, mungkin Emma sudah menolak ajakan mereka dengan kasar tadi. Tapi Emma bersikap tenang, oleh sebab itu Daffa berfikir untuk bersikap lebih tenang lagi.

'Lagipula mulai besok, aku bisa melihatnya setiap hari. Untuk apa terburu-buru sekarang."

"Yah, lo bener juga sih." Ucap Daffa menepuk pundak Ferdi dengan seringai di wajahnya.

Only EmeraldWhere stories live. Discover now