Beberapa tahun lalu aku berada di posisi Aidan. Ketika anak itu masih memasukki bangku awal SMA. Membuat pertemuanku dengan Kirino yang hanya terjadi di akhir pekan atau hari-hari tertentu berubah mrnjadi kegiatan belajar bersama. Aku yang belajar, kalau Kirino cuma memantau.

Siang itu kami pergi bersama ke salah satu kafe yang cukup kondusif untuk sekadar bersantai atau mengerjakan tugas, sebut saja Kafe Antalogi. Tempat singgah kesukaan kami berdua. Lokasinya juga tidak berada terlalu jauh dari rumahku.

"Susah banget pelajaran anak IPS... Kenapa sih, rasanya kayak di anak tirikan banget jadi anak bahasa. Nggak tau aja bahasa tuh bagian paling penting di hidup,"

"Pada belom sadar aja kali sama potensi anak bahasa. Aku sebagai anak FIB nggak terima,"

"Coba besok kamu demo deh,"

"Demo turunin harga makanan kucing?"

"Ish, bukan lah. Demo biar anak bahasa nggak dianak tirikan."

"Ibunya anak bahasa nikah lagi apa gimana jadinya anak bahasa dianak tirikan?"

"Kirino.... kita lagi bahas apaan ya..."

Laki-laki itu tertawa hingga matanya menyipit. Aku saja heran, dimana letak kelucuan dari hal yang ia tertawakan. Tangannya bergerak mengusap puncak kepalaku dengan lembut, dengan senyum yang masih mengembang di wajahnya.

"Pasti kamu bisa, kok. Kan mau ketemu aku?"

"Idih? Kayaknya hari-hari bakalan jadi lebih gampang kalo aku udah nyusul kamu ya,"

"Pulang kuliah kalo jam kita deketan aku bisa jemput kamu, terus kita makan bareng atau muter-muter,"

"Kalo ada tugas kita bisa ngerjain bareng nggak usah nunggu libur gini baru bisa ketemu,"

"Kalo malem-malem kangen aku tinggal samperin kost kamu,"

"Nggak boleh. Kalo malem-malem berduaan nanti ketiganya setan. Aku takut ya, nggak mau."

"Semangat belajar, cantik."

Bicara tentang Kirino, katanya hari ini laki-laki itu akan datang ke rumah. Semenjak berada di semester atas, intensitas bertemu kami di rumahku atau di rumahnya menjadi terhitung jarang karena akhir pekannya digunakan untuk memikirkan skripsi.

Katanya ia juga ingin bertemu dengan Aidan yang sedang kebingungan memilih jurusan. Padahal bisa saja Aidan berkonsultasi ke bimbingan konseling tapi ia justru lebih memilih bertukar pikiran dengan Kirino.

"Dan, Kakak mandi dulu ya."

"Biasanya juga mandi cuma sekali. Aku cepuin ke Kak Ino nih nanti,"

"Idih Kirino aja juga jarang mandi. Belajar aja mending, biar nggak galau tiap malem mikirin jurusan mulu,"

"Yaudah iya, aku kalah."

Aku meninggalkan Aidan sendirian di ruang tengah. Niatnya untuk dapat menembus perguruan tinggi negeri tidak dapat diredam oleh apapun. Oleh sebab itu, di akhir pekan seperti ini ia memilih untuk belajar daripada bermain. Walaupun sesekali ia juga sering pergi bersama teman-temannya.

Membilas badan tanpa terburu-buru karena takut melewatkan sarapan pagi atau terlambat masuk kelas rasanya sangat membahagiakan sekali. Kalau ini bukan di akhir pekan, rasanya aku seperti mandi hanya untuk formalitas saja.

Terkadang mandi, apalagi dengan air hangat, mampu menurunkan tingkat stress yang berlebih. It's like the water wash your burden away from your body. Apalagi jika mandi ditambah dengan keramas.

ElixirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang