Bonus #3 : The Garden

1.3K 253 31
                                    

Yeji mengedarkan pandangannya ke segala penjuru

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Yeji mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Oke, tempat ini memang bukan mall yang bertabur barang berkilauan. Hanya saja  taman di belakang bukit sekolah punya pesona tersendiri.

Thanks to Jeno yang mengajaknya ke mari. Sekarang Yeji bisa jadi punya tempat alternatif untuk refreshing.

Aroma wangi aneka bunga yang menggelitik hidung dan tiupan angin sepoi-sepoi yang memainkan helai rambut menyebabkan batin Yeji terasa lebih tenang.

"Bagaimana? Bagus tidak?" tanya Jeno. Intonasinya terdengar flat seperti biasa, tetapi ada kilauan bangga bersarang di tatapan pemuda Lee itu.

Yeji menghirup napas panjang sebelum mengangguk dalam. Wajahnya tampak sumringah kala mengambil foto pemandangan sekitar. Di antara ragam puspa yang tumbuh, ada satu yang terlihat mencolok, menarik perhatian Yeji.

"Jeno, coba lihat! Yang itu cantik banget," sahut Yeji, tidak bisa lagi menahan diri.

Gadis Hwang itu berani bersumpah belum pernah melihat pohon berukuran mungil yang ditumbuhi bunga berona violet di tempat lain.

"Itu Azalea, Yeji. Tanaman itu hanya tumbuh di pinggir kota yang daratannya berkedudukan lebih tinggi seperti di sini," jelas Jeno.

Yeji manggut-manggut. Romannya berpendaran oleh rasa kagum. Siapa sangka diam-diam Jeno menyimpan bakat menjadi ahli botani. Jeno memang serba bisa. Seandainya saja dia juga seekspresif itu dalam mengungkapkan  afeksi.

Ah, lupakan! Lebih baik Yeji memfokuskan atensinya ke Azalea daripada meratapi kekurangan Jeno. Namanya juga manusia, pasti punya kelemahan.

Lengan Yeji  telah bergerak hendak mengambil sepucuk kembang.

"Jangan dipetik!"

Larangan itu sontak membuat Yeji mengurungkan niat. Sontak dia menoleh ke sumber suara. Netranya dikejutkan oleh figur lelaki asing yang menatap nyalang.

Dari fisiknya, dia tampak lebih tua beberapa tahun dari Yeji dan Jeno. Sepatu boot lelaki itu penuh dengan noda tanah senada dengan overall-nya yang tampak lusuh. Rambutnya berantakan dan rona mukanya pucat.

"Ada apa?" tanya Jeno menghampiri mereka berdua.

"Maaf, saya hanya tidak mau dia memetik bunga ini," ujar lelaki itu dengan   nada  suara melunak.

"Ah, maaf. Dia baru pertama kali kemari. Harap maklum bila ia tidak mengerti peraturan di sini," ujar Jeno tersenyum kecut.

Tidak beberapa lama kemudian ia membungkuk, meminta maaf. Yeji yang terlanjur merasa tidak enak hati akhirnya pun meniru tindakan Jeno.

Laki-laki itu mendesah lemah."Saya cuman mau mencengah tragedi berulang. Orang terakhir yang memetik bunga ini, berakhir kesurupan. Saya tidak mau penunggu bunga ini marah lagi," desisnya disertai dengkusan.

Leher Yeji menegang. Bulu kuduknya  berdiri sempurna saking merindingnya. Suasana berubah mencekam tetapi pria itu bisa-bisanya kembali melanjutkan cerita panjang dengan tenang.

"Dulu tempat ini merupakan perkebunan yang dimiliki Tuan Kim. Tuan mempunyai seorang putri yang cantik mempesona bernama Sejeong. Kesukaannya pada bunga Azalea ungu membawa gadis itu bertemu dengan Doyoung.  Doyoung hanya pemuda biasa yang kebetulan bekerja di kebun ayahnya. Mereka saling jatuh cinta. Terbakar oleh api asmara, sepasang sejoli itu bertindak di luar batas. Tuan Kim murka mengetahui hal itu. Ia memecat Doyoung dan berusaha menjodohkan Sejeong dengan pria yang lebih sepadan, tidak peduli Sejeong sebenarnya telah mengandung anak Doyoung. Sejeong yang frustasi memutuskan bunuh diri di dekat pohon ini."

Yeji dan Jeno spontan mundur, menjauhkan diri dari pohon itu.

"Lalu bagaimana dengan Doyoung?" Meskipun air mukanya digerus ketakutan, tetapi Yeji keburu penasaran.

"Pria malang itu juga meninggal tidak lama kemudian karena depresi ditinggal Sejeong."

"Tragis sekali."

Jeno berkomentar penuh simpati. Oh, matanya bahkan sudah berkaca-kaca sekarang.

"Maka dari itu, jangan mencabut bunga itu supaya mereka bisa beristirahat dengan tenang," mohon lelaki itu sebelum meninggalkan mereka.

***

Sepulang dari sana, Yeji dan Jeno memutuskan ke kuil untuk membuang sial sekaligus mendoakan arwah Sejeong. Mereka boleh saja tidak familiar dengan sosok wanita itu dan kekasihnya. Namun, rasa empati yang tinggi membuat mereka meyakini siapa pun berhak mendapatkan ketenangan.

Sesampai di rumah ibadah, mereka disambut oleh sosok mungil yang terlihat lucu dalam balutan hanbok lebar bermotif sederhana

"Selamat datang. Nama saya Kim Dahyun, pemadu di kuil ini," sapanya ramah.

"Bisa kami berdoa untuk mereka yang telah pergi di sini?" tanya Jeno.

"Tentu saja boleh. Kebetulan aku juga mau bersembayang untuk mendoakan arwah para leluhur. Ayo ikuti aku!"

Wangi dupa yang menyengat mengusik indra penciuman saat mereka memasuki ruangan. Di dalam kuil terdapat meja bertingkat yang diisi miniatur patung budha di bagian teratas. Pada undakan berikutnya diisi foto sanak famili keluarga Kim yang telah berpulang.

Mata Yeji tiba-tiba terpaku pada foto hitam putih di pinggir kiri. Dalam figura itu tampak lelaki bermata bulat dan bergigi kelinci sedang berpose di depan bunga azalea.

Perempuan itu refleks menyikut pinggang Jeno hingga dia meringis nyeri. "M-ma-maaf ...itu kan...."

"Ah, itu Kim Doyoung, adik nenekku. Kisah hidupnya menyedihkan sekali," sela Dahyun lirih dengan tatapan nanar. Detik berikutnya cerita miris tentang Doyoung mengalir dari bibir delimanya. Isinya tidak jauh berbeda seperti yang mereka dengar dari lelaki tadi.

Kepala Yeji rasanya berdengung. Di kepala Yeji bayangab sosok Doyoung kembali mengawang-awang. Wajah muramnya, pandangannya yang menusuk hingga segala peringatan bernada ancaman yang ia sampaikan.
Semua itu membuat lutut Yeji nyaris kehilangan keseimbangan.

Takut-takut ia menoleh ke arah  Jeno. Rona wajah mereka sama-sama pucat pasi. Beruntung Dahyun begitu khusyuk berdia hingga tidak menyadari perubahan mimik sepasang tamu.

Netra Yeji membeliak horor saat ia berbisik,  "Jen, jadi yang kita temui tadi itu...."

Yeji tidak sanggup meneruskan ucapannya. Bauran syok dan ketakutan mengunci mulutnya untuk memproduksi sepenggal kata baru.

Jangankan berbicara, napasnya saja terasa tersekat oleh tali tak kasat mata.

Jeno mengangguk tanpa suara. Bahunya terlihat merosot. Di dalam sorot mata kekasihnya, Yeji bisa menangkap secerca kegusaran tertahan.

Ah, mengapa kadang - kadang mereka harus berurusan dengan fenomena ganjil seperti ini?

P. S :
Ini masih cerita Barista kok. Bonus ketiga ini sengaja diupload malam2 supaya feel-nya lebih terasa /digebuk pembaca /

Anyway Insya Allah next bonus chapter bakal balik ke Remi dan bernuansa merah jambu. Mungkin 1-2 minggu lagi ya. So stay tune

Vomments are highly appreciated

Barista  (Yeji&Jeno) ✔️Where stories live. Discover now