"Aku tidak tahu, lalu ... guru mata pelajaran apa dia?" Mata keperakan itu masih menatap fokus kedepan.

"Entah lah aku pun belum tahu, setahu ku di sekolah ini membutuhkan guru mata pelajaran matematika"

"Kapan orang itu mulai mengajar?" tanya Hinata lagi. Tampaknya ia perlu tau apa yang terjadi di tempat ia mengajar.

"Mungkin lusa" jawab Shino sambil menusuk dagu dengan telunjuknya. Dengan tangan yang lain melintang secara horizontal di dada. Berfungsi sebagai tumpuan tangan yang vertikal.

"Umm Hinata-san, kau ingin ku antar pulang?" ucap Shino menawarkan. Mereka telah berada di gerbang sekolah yang tak jauh dari parkiran.

"Terimakasih atas tawaranmu, tapi kekasihku sudah menjemput."

Hinata berkata seraya menatap lembut kearah seseorang. Ia sedang berdiri menyandar di mobil hitam dekat gerbang keluar sekolah. Lalu mata Shino yang tak lepas dari kacamata aneh itu menatap ke arah yang sama.

"Baiklah hati-hati ya ... " ucap pria Aburame itu.

Hinata tersenyum mengangguk lalu berjalan menghampiri sang kekasih hati.

Setelah gadis lavender itu mendekati pria bersurai putih dan nampak sedikit pony si keningnya. Bulu mata yang lentik yang cukup mempesona. Seperti sapuan di kelopak mata. Toneri membukakan pintu mobil untuk Hinata layaknya seorang putri, lalu matanya menatap tumpukan kertas yang Hinata bawa.

"Hei ... apa anak-anak itu merepotkan mu?" tanya Toneri. Sambil memasukan kertas kertas itu ke dalam mobilnya.

Hinata terkikik pelan lalu ia berkata.
"Tidak, mereka adalah anak-anak yang baik ... dan ini kertas ulangan mereka, aku akan mengoreksinya di rumah nanti" ucapnya lembut. Suaranya dibawa alunan angin dan menghasilkan sebuah nyanyian yang indah. Mampu membuat orang terhipnotis terhadap nadanya.

"Hinata sensei" sapa Toneri lembut. Sekarang ia telah berada di kemudi mobil. Sambil memandang bidadari yang duduk disampingnya.

"Hei kenapa kau memanggilku dengan sebutan itu? Aku ini bukan sensei mu" tatapan itu mulai sedikit merajuk. Dengan bibir yang sedikit dimajukan ke depan. Membuat lelaki Ootsuki itu gemas akan tingkah sang kekasihnya.

Toneri tersenyum lebar.
"Kenapa memangnya hah? Jika aku boleh memilih, aku ingin kembali ke masa-masa sekolah agar aku bisa bertemu guru secantik dirimu" mendengar gombalan itu membuat pipi putih Hinata telah merah seperti tomat.

"Untuk apa kau ingin menjadi muridku kalau sekarang saja kau berada di posisi terbaik" Hinata tak mau kalah dalam hal menggombal. Maka sekarang ia akan mengeluarkan keahliannya.

"Posisi apa itu?" Tanya Toneri penasaran. Tangannya asik memutar stir dari kiri ke kanan.

"Menjadi kekasihku"

Pria berambut putih keperakan itu terlena di buatnya. Semakin hari perasaan cinta itu semakin besar. Bagaikan melodi yang menari nari di awan. Serasa terbang di surga dunia dengan hanya menatap wajah cantik itu setiap hari. Mungkin saja rasa memiliki itu bisa menjadi obsesi suatu hari nanti.

'Jika suatu saat kau lepas dariku. Maka aku akan merebutmu dari orang yang berani merebutmu dari genggamanku. Apapun caranya aku tidak peduli. Yang penting kau harus bersama denganku selamanya, Hinata"

"Hey Toneri sayang ... Apa yang kau pikirkan? Kau hanya akan membahayakan kita, jika kau melamun seperti itu" ujar Hinata sambil melihat wajah sang kekasih. ujar. Takut nanti terjadi hal hal yang tak diinginkan.

"Oh" lelaki itu jadi gelagapan. "Tidak apa apa ... aku hanya bersyukur saja bisa berkesempatan memiliki dirimu" dia mengeluarkan senyum termanisnya.

"Hmm" secarik garis tertarik dari bibir pink itu. Namun Hinata merasa, kenapa ia pernah mengalami hal manis ini sebelumnya. Kadang setiap malam ia terbayang bayang sesuatu seperti kaset rusak. Membuat kepalanya kadang kadang pusing.

A Stored Feeling | ENDWhere stories live. Discover now