part 12 || END

265 16 2
                                        

Langit senja memandikan gerbang sekolah dengan semburat jingga. Di sanalah Naruto dan Hinata berdiri, larut dalam tawa pelan yang terasa ringan dan hangat. Sebuah pemandangan yang menusuk tajam langsung ke jantung Toneri Otsutsuki yang mengamati dari mobilnya di seberang jalan. Rahangnya mengeras, buku-buku jarinya memutih saat mencengkeram kemudi. Cemburu adalah api, dan saat ini ia merasa seluruh dirinya terbakar hangus.

Tanpa menunggu lebih lama, ia menyalakan mesin dan menghentikan mobilnya dengan decitan ban tepat di samping mereka. Jendela mobil turun, memperlihatkan tatapan dingin Toneri.

"Hinata, ayo pulang," ucapnya dengan nada datar yang sarat akan perintah.

Tawa Hinata seketika lenyap. Ia melirik Naruto dengan canggung. "Ah, maafkan aku, Naruto-kun. Aku harus pergi."

"Hati-hati, Hinata," balas Naruto, senyumnya sedikit memudar saat merasakan aura tidak bersahabat dari dalam mobil.

Hinata baru saja duduk di kursi penumpang saat Toneri membanting pintu dengan keras, membuat gadis itu tersentak. Tanpa sepatah kata pun, mobil melesat dengan kecepatan tinggi, mendorong tubuh Hinata ke sandaran kursi. Gedung-gedung di tepi jalan berubah menjadi bayangan kabur.

"Toneri, jangan ngebut!" seru Hinata, tangannya mencengkeram sabuk pengaman. "Ini berbahaya! Aku... aku trauma karena kecelakaan itu!"

Ingatan akan remuknya logam dan pekikan ngeri di masa lalu berkelebat di benaknya. Namun, Toneri seolah tuli. Pedal gas justru ditekan semakin dalam. Jarum speedometer terus menanjak, seiring dengan detak jantung Hinata yang semakin tak beraturan.

Tiba-tiba, Toneri membanting setir, membelokkan mobil ke jalanan sepi yang jarang dilalui dan berhenti mendadak di tepiannya. Mesin mobil masih menderu pelan, menjadi satu-satunya suara di antara keheningan yang mencekam.

Toneri menoleh, tatapannya menusuk dan penuh tuntutan. "Katakan padaku, Hinata. Apa kau masih mencintainya?"

Hinata menelan ludah, bingung dengan perubahan drastis ini. "Apa maksudmu, Toneri?"

"JANGAN PURA-PURA TIDAK MENGERTI!" bentaknya, membuat Hinata terlonjak kaget. "Kau bahkan tidak lagi memanggilku dengan sufiks 'kun'! Tatapanmu padanya tadi... sama seperti tatapanmu padaku dulu. Jawab dengan jujur!"

Keheningan menggantung selama beberapa detik. Hinata menunduk, tak sanggup menatap mata yang kini dipenuhi obsesi itu. Dengan suara bergetar, ia mengakuinya.

"Ya... aku masih mencintainya."

Sebuah senyum ganjil dan mengerikan tersungging di bibir Toneri. Tanpa Hinata sadari, senyum itu adalah pertanda. Ia kembali menyalakan mobil, namun kali ini berbelok ke arah sebuah kawasan industri tua yang terbengkalai.

"Kenapa kita ke sini?" tanya Hinata, rasa takut mulai merayap di sekujur tubuhnya.

Alih-alih menjawab, Toneri memarkir mobil di depan sebuah gudang usang yang diselimuti karat. Ia menoleh ke Hinata, tangannya terulur cepat. "Mana ponselmu?"

"Untuk apa?"

Tak menunggu jawaban, Toneri merebut tas tangan Hinata, merogoh isinya, dan menemukan ponsel gadis itu. Hinata berusaha mengambilnya kembali, namun cengkeraman Toneri terlalu kuat.

"Kau akan melihat betapa besar 'cinta'-nya untukmu," desis Toneri.

Ia kemudian keluar dari mobil, menarik Hinata dengan kasar. Gadis itu meronta, tapi tenaganya tak sebanding. Di dalam gudang yang pengap dan berbau debu, Toneri mendorongnya hingga terduduk di sebuah kursi kayu tua, lalu dengan cepat mengikat tangan dan kakinya menggunakan tali tambang yang sudah tersedia di sana.

A Stored Feeling | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang