"Besok kalo kamu udah fix lolos masuk PTN, bukunya jangan dikiloin,"

"Kenapa, Ra?"

"Dijual aja ke orang. Harganya pasti lebih tinggi. Ya nggak tinggi banget tapi lebih mending lah,"

"Kirain apaan. Kenapa gitu harus dijual?"

"Ih, banyak nanya ya kamu. Buat tabungan, Kirino. Jangan buat jajan mulu uangnya,"

"Buat traktir Ayam, Bebek, sama Angsa masa nggak boleh?"

"Beda cerita. Gini, kamu mending buat pengeluaran terperinci biar besok waktu kuliah nggak keterusan duitnya buat yang lain-lain,"

"Kamu lama-lama jadi penasehat keungaan aja deh, cocok kayaknya,"

"Nggak deh. Jadi bendahara kelas aja aku rugi sepuluh ribu."

Ara itu anaknya hemat. Uang yang dikasih orang tuanya selalu dia kelompokkan berdasarkan skala prioritas, apalagi tabungan buat keperluan mendadak. Nggak ada yang menasehati dia. Kadang, orang tuanya juga heran punya anak sehemat itu.

Pertama kali kami pulang bersama selalu menorehkan euforia yang meletup-letup dalam diri gue. Tentang bagaimana Ara dengan tiba-tiba melingkarkan lengannya di pinggang gueㅡwalaupun selama libur kenaikkan kelas kami sempat beberapa kali pergi bersama, Ara nggak pernah melakukan ituㅡkemudian kedua matanya terpejam dengan kepalanya yang bersender nyaman di punggung gue.

Walaupun sebenarnya agak was-was juga lantaran kami masih memakai seragam sekolah, untungnya kemeja kami berada dalam balutan jaket.

Rasanya rindu sama masa-masa itu. Ketika kami nggak punya beban yang perlu ditanggung selain memastikan posisi rangking kami tidak turun.

"Kak Ino udah selesai semedinya?" Tanya Aji ketika gue keluar dari kamar setelah lelah merevisi skripsi.

Anak-anak dua ribuan ditambah Jusuf dan Bayu sedang berkumpul di ruang tengah. Lega mendapati kehadiran Bayu di ruang tengah, karena itu artinya Ara pasti sudah kembali dengan aman ke kostnya.

"Semedi bapak lo,"

"Bapak gue Rudi."

"Yang bilang bapak lo Julian juga siapa?"

"HAHAHAHAHA apaan anjir Kak Ino bawa-bawa Ayah,"

"Nggak ada yang bawa-bawa Ayah lo, Ris. Nggak kuat,"

Gue mendudukkan diri di samping Jusuf yang sedang memakan kacang pilus. Mungkin hasil beli dari minimarket sebelum mereka berkumpul tadi.

"Btw, Ayah nanyain kalian,"

"Nanyain apaan?"

"Katanya kok nggak pernah main ke rumah lagi?"

"......"

"Lagi sibuk kita-kita, Ris. Abang-abang kita aja nyaris setengah nggak waras ngerjain skripsian,"

"Lo kali yang nggak waras."

"Ntar deh, Ris diatur waktunya. Benar begitu Bang Bayu yang menjabat sebagai kepala suku?"

"Benar. EH BENAR APA DULU NIH?"

"Makanya, Bang. Nyimak, nggak ngurusin proker mulu. Udah semester berapa juga,"

Seperti biasanya, percakapan berlanjut menjadi sangat tidak penting. Apalagi Aji yang memimpin. Tapi sebenarnya, Aji itu pandai merangkai kata-kata apalagi berkomunikasi. Pernah waktu itu, sepupunya Esa ada yang ulang tahun. Esa menawarkan katering Bunda Jusuf yang langsung diterima dan mengajukkan Aji sebagai pembawa acara yang nggak dikira-kira juga langsung diterima.

ElixirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang