BAB TIGA PULUH TIGA

15 5 0
                                    

Sebagai orang tua yang hanya memiliki satu anak, apa yang Airin katakan cukup mengkhawatirkan. Baik Lea ataupun Heru memang sudah merasa ada yang salah dengan anak mereka, tetapi mereka tidak yakin apa itu. Yang mereka rasakan adalah perubahan seperti Alin yang cepat lelah dan gelisah. Alin juga sering berdiam di kamar padahal biasanya gadis itu paling tidak betah kalau berada di kamar lebih dari 5 jam kecuali untuk tidur. 

Pernah sekali Alin kelihatan sangat kelelahan. Lea yang tidak bisa melihat kondisi anaknya yang seperti itu menyuruh untuk beristirahat, tapi Alin menolak. Katanya meskipun lelah, dia masih ada sedikit semangat untuk belajar. Apalagi besok ada kuis dan dia belum sempat menyicil sama sekali. Karena Alin terlihat memang ingin belajar, alhasil Lea memperbolehkannya walaupun agak was-was. Ketika Lea mengintip sebentar, rupanya Alin malah ketiduran di atas buku catatan yang terbuka.

Kira-kira sejak kapan Alin menjadi seperti ini? Mereka lupa memperhitungkan ini karena merasa gadis itu bahagia dengan rutinitasnya. "Kapan kita ngomong ke Alin?"

"Secepatnya, Ya. Kita nggak bisa lihat dia terus-terusan murung, kan?"

"Gimana kalau dia nolak?" Lea masih khawatir.

"Kita harus bujuk sebisanya. Ini demi dirinya sendiri." Lea terbujuk dan mereka memutuskan untuk segera membicarakannya dengan Alin. Hanya saja karena firasat ibunya, Lea mencoba mencari lebih jauh lagi di Google dan membicarakan dengan teman dekatnya yang merupakan psikolog.

"Apa dia ada masalah di sekolah?"

"Setahuku nggak, Ra. Justru kalau aku dengar dari gurunya, Alin bisa berinteraksi dengan baik, kok."

"Jadi kamu sendiri nggak tahu, ya? Coba kamu kirim anakmu dulu ke aku, aku bakal bantuin sebisaku."

Heru mengintip di balik celah pintu yang tidak tertutup dengan benar, rupanya Alin menutup dengan tergesa-gesa. Sekarang gadis itu tertunduk dan rambutnya menutupi samping mukanya. Dari gerakan bahunya yang naik turun dan nafas yang dihirup dengan keras, Heru menebak anaknya menangis. "Ya, Alin nangis."

"Nangis?" Heru membiarkan Lea mengambil tempatnya dan bergiliran mengintip. Apa yang Heru katakan memang benar. Anak gadisnya mulai mendongak dan cepat-cepat mengambil tisu sebelum kembali menangis. Tanpa berpikir dua kali, Lea membuka pintu, menghampiri dan mengelus pundak Alin. "Sayang, kamu kenapa? Kok pulang-pulang malah nangis? Ada yang bully kamu, ya?"

Kehadiran mamanya dan papanya yang menyusul membuat Alin cepat-cepat menghapus air mata. Dia tidak ingin memperlihatkan hal ini kepada orang tuanya, tapi saat dirinya membuka mulut dan mengatakan satu kata, air matanya kembali luruh. Lea paham kondisi anaknya yang tidak bisa bicara untuk saat ini, jadi dia menggantinya dengan pelukan. "Kamu bisa cerita nanti, sekarang tumpahin dulu semuanya."

Kepala Alin mengangguk dan menangis di balik bahu mamanya. Heru mendekat dan mengelus kepala gadis itu. 

[]

Sudah setengah jam Alin menangis di pelukan mamanya, kini dia berhasil menguasai dirinya lagi. Mama dan papanya sudah siap telinga serta tidak lupa menyiapkan teh hangat untuknya. "Kamu ada masalah sama teman-teman kamu?"

"Nggak." Bibir Alin bergetar. Dia tidak yakin menceritakan ini adalah sesuatu yang bagus, terlebih ke kedua orang tuanya. Bisa saja orang tuanya menganggap dirinya menangisi hal yang sepele. Tapi tatapan kedua orang tuanya yang sudah menunggu membuat Alin terpaksa menyebutkan alasannya. "Aku nggak bisa fokus belajar sama sekali."

"Aku ..." Kedua tangannya mulai mengepal. Dia masih ingat betapa frustasinya tadi saat di sekolah. "Aku mau belajar, tapi aku nggak bisa fokus. Nggak ada satu kalimat yang masuk di otakku."

Lea dan Heru saling berpandangan. Heru duluan yang menyudahi tatapan mereka dan kembali menanyakan anaknya. "Mungkin kelasmu ribut, ya? Makanya kamu nggak bisa belajar."

Gadis itu menggeleng. Awalnya dia kira begitu, tetapi ternyata nggak. "Ketika suasanya sepi, aku tetap nggak bisa konsentrasi." Tangan kanannya memukul pelan kepalanya yang mulai merasa pening seperti tadi. "Aku bodoh, ya?"

Tangan Heru menahan pergelangan anaknya. "Sayang, kamu nggak bodoh. Mungkin kamu kurang sehat akhir-akhir ini, makanya kamu nggak bisa fokus. It's okay."

"Tapi—"

"Gimana kalau kamu ketemu sama temen mama yang psikolog? Siapa tahu dia bisa bantu kamu," tawar Lea. Baginya ini adalah waktu yang tepat untuk menawarkan itu karena kondisi anaknya terang-terang mengkhawatirkan seperti ini. Tapi Alin malah memberikan tatapan tidak percaya. 

"Aku belum gila."

Lea langsung mengoreksi, "Ke psikolog bukan berarti kamu gila, nak. Kamu tahu kan kalau psikolog nggak cuma mengurus hal begituan?"

"Tetap aja aku nggak ada masalah kejiwaan, Ma!" seru Alin. "Aku cuma nggak bisa fokus belajar hari ini. Aku pastiin nilaiku nggak bakal jatuh karena hari ini, kok. Jadi, jangan bawa aku ke psikolog, kan?"

"Sekarang aku mau istirahat, mama sama papa bisa keluar?" Sepertinya Alin benar-benar tersinggung dengan itu, padahal niat mereka sama sekali tidak jelek. Sekarang gadis itu sudah mengalihkan pandangannya dan tidak mau melihat mereka lagi. Tanpa perlu diusir kedua kalinya, mereka berdua beranjak berdiri dan keluar. 

Alin mendekati pintu dan duduk di baliknya untuk memastikan mama papanya tidak bisa membuka pintunya lagi. Kemudian dia menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya di baliknya. Tidak ada air mata yang tersisa karena tadi sudah ditumpahkan semuanya dan menyisakan sesuatu yang kosong. "Semua perasaan ini ... akan segera berakhir, kan?"

"Kondisi Alin nggak menyakinkan untuk ikut aktivitas OSIS, Ray

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kondisi Alin nggak menyakinkan untuk ikut aktivitas OSIS, Ray. Nggak apa-apa kan kalau semisalnya dia keluar di tengah-tengah semester?"

"Kenapa kamu berpikir kayak gitu?" Ray masih tidak paham kenapa Alin harus keluar dari OSIS, padahal gadis itu kelihatan biasa-biasa saja. "Jangan kepikiran yang berlebihan dulu, Rin."

"Tetap aja ini buat jaga-jaga. Aku tahu masuk OSIS nggak gampang, jadi keluar juga nggak gampang. Tapi, please, kalau semisalnya Alin harus keluar dari OSIS, biarin dia keluar, ya?" Airin memohon dengan sepenuh hati sehingga Ray jadi luluh. "Fine. I will. Tapi bisa jelasin sedikit aja gimana kondisi Alin yang kamu maksud? Karena menurutku, dia nggak kenapa-kenapa."

"Aku nggak bisa jelasin semua, tapi kamu sering dengar kan kalimat 'terlihat kuat padahal sebenarnya rapuh'? Lebih buruknya, Alin ngerasa dia kuat, padahal sebenarnya kapan saja dia bisa hancur. Maaf kalimatku malah bikin kamu tambah pusing."

"Nggak apa-apa, aku bakal coba pahami itu. Tapi kelihatannya kondisi Alin serius, ya? Kalau kamu butuh bantuan, aku siap bantuin kamu."

"Thanks."

[To Be Continued...]

Perfect Spotlight (✓)Where stories live. Discover now