Chapter 3.5

Mulai dari awal
                                        

Tetapi bukannya menjawab, Jimin hanya berkata apapun yang terlintas di pikirannya.

"Sebenarnya aku tidak mengerti mengapa Yoongi-hyung terus menolak untuk menerima kenyataan bahwa Namjoon-hyung memiliki perasaan padanya. Aku tahu sebenarnya Namjoon-hyung terlalu berharap, tetapi apa yang dilakukan Yoongi-hyung saat ini justru akan memperparah situasi dari yang seharusnya."

Seokjin diam-diam pun setuju akan hal itu. Lalu Jimin melanjutkan.

"Tetapi aku tidak paham mengapa. Mengapa Namjoon-hyung masih memiliki Yoongi-hyung di hatinya? Mengapa ia masih berharap? Mengapa ia tidak menemukan kebahagiaannya yang baru?"

"Jimin-ah," kata Seokjin menyela perkataan Jimin sebelum ia bertanya lagi hal-hal yang sudah jelas jawabannya, "Namjoonie mencintai Yoongi. Sesederhana itu—"

"Aku tahu, Hyung," ketus Jimin, "aku tahu."

"... Lalu mengapa kau seperti ingin menangis?"

Jimin tidak berkata apa-apa. Ia harus menerima kenyataan juga. Bahwa sebenarnya ia pun sama. Kalau ia dapat mengatakannya saat itu, apakah ia dapat memiliki apa yang diinginkannya? Tentu saja tidak, terutama apabila orang itu hanya memandang satu orang saja sampai seumur hidupnya. Namun, ia tidak memperoleh pandangan yang sama.

Dan Jimin kesal akan hal itu. Kekesalannya hilang sesaat ketika ia membayangkan orang itu.

"Namjoonie-hyung... orang yang baik ya, Hyung?" gumam Jimin sambil tersenyum, "mungkin terlalu baik."

Mendengar hal itu kini Seokjin mengerti. Ia menghela napas lalu menjawab, "Ya, terlalu baik..."

Jimin menganggukkan kepalanya.

"... Kurasa aku hanya iri pada Yoongi-hyung..."

---

Malam itu ternyata tidak berjalan dengan baik. Terutama setelah Namjoon mengetahui dua hal.

Pertama, Yoongi mendapatkan pekerjaan yang dengan posisi yang sama seperti sebelumnya di suatu perusahaan.

Kedua, perusahaan itu bukanlah Big Hit.

Bahkan ia maupun Yoongi tidak ingat lagi, apa yang membuat ini terjadi lagi. Pertengkaran yang seharusnya tidak perlu menjadi sebuah pertengkaran. Sebenarnya mereka dapat membicarakannya baik-baik.

Tetapi dengan frustasi Namjoon yang menumpuk, dan Yoongi yang lelah karena pekerjaan (juga karena amarahnya terhadap Seokjin yang memberi tahu Namjoon mengenai keberadaannya), semuanya membuat mereka kembali lagi ke situasi saat itu. Napas yang tersengal-sengal, keringat bercucuran, suasana ruangan yang mencekam.

Ketika mereka sudah tenang, keduanya duduk di sofa dan saling berhadapan. Namjoon tentunya menatap Yoongi, tetapi Yoongi tidak menatap balik dan justru mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

"Hyung, aku tahu bahwa aku sendirilah yang mengatakan bahwa kau perlu memikirkan jawabanmu," gumam Namjoon, "tetapi aku tidak mengatakan bahwa kita harus menjadi orang asing."

Yoongi hanya menelan ludah, mendengarkan, tanpa menatap Namjoon. Lalu Namjoon melanjutkan.

"Kukira setidaknya kau masih menerimaku menjadi sahabatmu, kalau kau masih menganggapku demikian. Kalau aku tahu akan begini jadinya, seharusnya aku tidak mengatakan perasaanku padamu..."

Keduanya terdiam. Kemudian Yoongi melirih, "Aku hanya butuh waktu lebih, Namjoon-ah..."

"Dan membuat kita semakin menjadi orang asing satu sama lain?"

Yoongi tidak menjawab. Dan keheningan dari Yoongi sangatlah tidak membantu Namjoon. Namjoon menghela napas panjang lalu menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia tidak ingin mengatakan hal ini, hatinya malah akan hancur berkeping-keping. Namun, ia tidak dapat memaksakan Yoongi apabila memang Yoongi tidak menaruh perasaan yang sama padanya. Ia pun memberanikan hatinya.

With Golden StringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang