Cahaya matahari pagi menembus masuk melalui sela-sela tirai jendela, mengenai kelopak mata Namjoon yang sebelumnya tertutup rapat. Namjoon terbangun dari tidurnya lalu beranjak dari tempat tidur setelah menyadari bahwa tak ada kehadiran di sebelahnya lagi.
Ia ingat kejadian semalam, sepulangnya dari kerja paruh waktunya, menunggu kepulangan Yoongi seberapa lamanya ia sibuk dengan pekerjaannya—menunggu pintu apartemen mereka terbuka.
Yang ditunggu-tunggunya pun terjadi, dan Yoongi masuk, melepaskan sepatu dan mantelnya sebelum memasuki ruang tamu dan menemui Namjoon yang tengah duduk di sofa. Namjoon pun melihat ada yang berbeda dari Yoongi. Ia tak lagi menemukan apa yang dilihat malam-malam sebelumnya, dan kali ini ia justru melihat Yoongi yang tersenyum kecil. Yoongi menghela napas sambil menggelengkan kepalanya sebelum menaruh tasnya di samping sofa yang bersebrangan dengan Namjoon.
Satupun tak ada yang mengeluarkan suara, hanya suara heningnya ruangan yang ditemani suara kendaraan apapun itu yang baru saja melintasi jalan di luar apartemen mereka — dan suara napas mereka yang tenang. Di ruang itu, Yoongi hanya menutup matanya, mendengarkan semua suara itu — dan Namjoon menatap Yoongi, memperhatikan bagaimana ia terlihat lebih baik dari yang pernah ia lihat malam-malam sebelumnya. Bagi mereka, detik-detik ini sangatlah berharga.
Kemudian Yoongi bersuara.
"Kau tahu kau tidak perlu menungguku pulang setiap malam, kan?"
Namjoon pun menjawab, "Aku tahu. Tapi bukan berarti aku tidak ingin."
Yoongi membuka matanya lalu tertawa kecil, "Apa? Kau ingin memarahiku lagi?"
Kali ini Namjoon yang tertawa, "Untuk apa aku memarahimu, Hyung, kau kan pria dewasa. Lagipula sejak kapan aku memarahimu?"
"Kau melakukannya dua minggu lalu. Seterusnya, kau hanya menatapku masuk kamar tidur setiap kali aku pulang."
"Dibanding memarahi, aku lebih memilih kata mengkhawatirkan. Kau tahu betapa khawatirnya aku."
"Hmm, kau benar. Setelah melihat bayanganku di cermin, aku memang terlihat mengkhawatirkan."
"Menurutmu bagaimana kalau aku yang ada di posisimu dan kau di posisiku?"
"...Tentu saja aku akan khawatir."
"Sekarang apakah kau mengerti apa yang kurasakan ketika melihatmu seperti itu?"
Yoongi terdiam. Kini ia memasang muka asam, dan bibirnya yang mengerucut itu menunjukkan bahwa dirinya sedang berpikir. Melihatnya tenggelam dalam pikiran, Namjoon ingin melepas tawa tetapi ia usahakan untuk menahannya karena saat ini adalah momen yang dibutuhkannya setelah mereka mendiamkan satu sama lain.
Setelah lama mereka tidak berbicara satu sama lain selama dua minggu sejak pertikaian mereka dua minggu lalu, akhirnya mereka dapat merasakan apa yang sudah lama didambakannya selama ini. Berdua. Duduk di ruang tamu. Membicarakan sesuatu dan mungkin akan tertawa karenanya. Nyaman akan satu sama lain.
Dan Namjoon senang dapat mengalaminya kembali. Begitu juga dengan Yoongi.
"...Baiklah itu adil," gumam Yoongi kemudian, "walaupun kau menggunakan cara itu tetapi kuakui bahwa itu adil."
"Ya, kan," balas Namjoon dan membiarkan dirinya tertawa.
"Kau benar bahwa perusahaan itu nyaris membuatku terlihat seperti mayat hidup."
Namjoon mengangguk, "Yap."
"Kau benar bahwa seharusnya aku keluar dari sana."
Namjoon mengangguk lagi, tetapi kali ini ia menundukkan kepalanya dan membalas dengan suara pelan, "Ya..."
YOU ARE READING
With Golden String
Fanfiction[COMPLETED] "Maaf aku tidak punya apa pun, Hyung. Maksudku... jika aku seorang pelukis, aku akan melukiskan dunia untukmu, dan jika aku seorang penyanyi, aku akan menyanyikan lagu untukmu. Namun, aku hanya... aku. Aku hanya bisa memberikanmu puis...
