Seokjin pun terdiam. Ia sudah cukup lama melihat salah satu sahabatnya ini menanggung perasaan yang dipendamnya pada sahabat lainnya. Ia tahu bahwa dalam situasi ini ia tidak dapat menyalahkan siapapun, tetapi melihat raut wajah Namjoon malam itu, karena patah hati sebelum menerima jawaban yang ia tunggu-tunggu, membuat Seokjin semakin merasa iba. Sebagai kakak tertua, ia ingin yang terbaik untuk adik-adiknya.
"Tindakannya itu memang salah, mendiamkanmu begitu saja," kata Seokjin kemudian, "tetapi kau tidak dapat menyalahkannya karena ia bersikap demikian. Kau tahu bahwa Yoongi belum memiliki keberanian yang sama denganmu, Namjoon-ah. Ia pun pasti tidak ingin mendiamkanmu dengan sengaja, tetapi tentunya ia memiliki masalahnya sendiri. Ia pasti kebingungan."
"Lebih tepatnya ini semua salahku, Hyung," kata Namjoon, "kami berdua belum siap untuk menerima kenyataan bahwa aku menaruh perasaan padanya. Seharusnya aku tidak mengatakannya malam itu—"
"Dan apa? Memendamnya selama-lamanya?"
Namjoon pun terdiam. Dan di tengah keheningan mereka berdua, handphone Seokjin bergetar.
"Yoongi ada di apartemen kalian saat ini," kata Seokjin sambil melirik dari handphone-nya menatap Namjoon. Ia tahu seharusnya ia tidak memberitahukan hal ini pada Namjoon setelah ia mendapatkan pesan dari Yoongi untuk menyembunyikannya dari pemuda di depannya itu. Namun kali ini Seokjin tidak peduli karena ia sendiri tahu bahwa Yoongi tidak seharusnya lari dari permasalahan ini.
"...apa?"
"Yoongi ada di apartemen kalian untuk mengambil barang-barangnya untuk ditaruh di asrama," kata Seokjin, "kalau kau ingin bertemu dengannya, kusarankan kau kayuh sepedamu ke sana sekarang juga."
Melihat Namjoon segera merapikan pakaian dan menaruh uang untuh jatahnya lalu pergi dengan sepedanya membuat Seokjin berdoa dalam hati bahwa apa yang dilakukannya benar.
Ia berharap tidak ada hal buruk yang terjadi malam itu.
Kemudian ia mendengar suara langkah kaki yang berjalan dengan perlahan di belakangnya, seakan-akan ia ingin pergi dari sana. Seokjin hanya tersenyum lalu menghentikan.
"Jimin-ah, aku tahu kau sedang mendengarkan, jadi lebih baik kau mengaku sekarang."
Ternyata tamu lain di tempat makan itu yang duduk satu meja di belakang meja Namjoon dan Seokjin adalah... Jimin. Ia selalu merasa ada sesuatu yang familiar setiap kali orang itu duduk di belakang mereka dan pergi setiap kali mereka selesai makan. Ketika Seokjin lihat-lihat lagi ia tidak habis pikir untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa orang dengan jaket, topi dan masker hitam itu adalah temannya.
"...Hyung, bagaimana kau tahu?"
"Kau meremehkanku? Namjoon mungkin tertipu tapi tidak ada satupun orang yang dapat menipuku."
"Hyung," kata Jimin dengan lirih sambil melepas maskernya lalu duduk di tempat Namjoon duduk sebelumnya, "kau tidak akan memberi tahu Namjoon-hyung, kan?"
"Apa? Bahwa kau mendengarkan sesuatu yang sangat privasi baginya? Kau tahu itu salah kan?" tanya Seokjin menantang.
"...Hyung—"
"Aku tidak akan memberitahunya," kata Seokjin, membuat Jimin membulatkan matanya, "asal kau memberitahuku apa alasannya."
Jimin menundukkan kepalanya lalu menghela napas panjang.
"Sebenarnya aku sudah tahu semuanya. Sebelum aku tidak sengaja mendengar percakapan kalian di sini dan memutuskan untuk melakukannya sampai hari ini."
"Tahu semua? Mengenai Namjoon dan Yoongi?"
Jimin menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Seokjin bertanya dengan tidak percaya, karena seberapapun Namjoon ceroboh dengan perasaannya tetapi ia masih dapat menyembunyikannya dari orang lain. Kalau Jimin mengetahuinya, hal itu berarti... —
BINABASA MO ANG
With Golden String
Fanfiction[COMPLETED] "Maaf aku tidak punya apa pun, Hyung. Maksudku... jika aku seorang pelukis, aku akan melukiskan dunia untukmu, dan jika aku seorang penyanyi, aku akan menyanyikan lagu untukmu. Namun, aku hanya... aku. Aku hanya bisa memberikanmu puis...
Chapter 3.5
Magsimula sa umpisa
