Menyakitkan bagi Zee

748 104 56
                                    

Gevan dan Zetta sedang bahagia, ternyata benar bahwa Zetta hamil. Zee yang mendengar Mamanya hamil lagi ikut senang, walaupun Zee sedikit kecewa dengan Mama karna sudah tidak perduli dengan dirinya. Dengan kehadiran anak kedua Zetta, Zee yakin Zetta sudah tidak memikirkan dirinya lagi. Zee juga maklumi sikap Mamanya, mungkin Mamanya berusaha mendidik Zee supaya menjadi anak yang mandiri, Zee juga udah dewasa jadi ia tidak ingin merepotkan orang tuanya terus. Tapi apa Mamanya tidak berfikir dari dulu Zee itu tidak mendapatkan kasih sayang darinya.

"Ma, selamat ya. Semoga dedeknya sehat terus," ucap Zee sambil tersenyum.

"Iya, makasih Zee. Doain aja semoga dedeknya lahir dengan selamat dan sehat," ucap Gevan sambil tersenyum.

Zetta terus mengusap-usap perutnya sambil tersenyum, Zetta juga tidak menjawab perkataan Zee. Zee tersenyum kecut melihat sikap Mamanya. Zetta seolah tidak menganggap Zee ada dirumah ini, Zee ingin tau kenapa Mamanya jadi seperti ini? Dulu emang Zetta tidak pernah perhatian, tapi Zetta masih perduli. Sekarang jangankan perhatian, perduli saja tidak.

"Sayang, aku mau ke kantor dulu ya. Soalnya ada berkas yang harus aku urus. Gak papa kan?" tanya Gevan sambil mengusap kepala Zetta.

"Iya, gak papa kamu hati-hati."

"Ayah pergi dulu ya Zee," ucap Gevan sambil mengusap kepala Zee. Gevan kemudian pergi meninggalkan Zetta dan Zee.

Zee duduk disamping Mamanya, ia menatap Zetta yang masih mengelus-elus perutnya.

"Ma, kenapa sih Mama cuek sama Zee? Salah Zee apa? Kalo Zee punya salah Zee minta maaf. Mama itu kaya udah gak anggap Zee lagi, Zee itu masih ada Ma, Zee masih butuh Mama. Zee masih butuh kasih sayang Mama, perhatian Mama. Kenapa Mama seolah-olah anggap Zee udah gak ada? Zee masih disini Ma, Zee masih butuh bimbingan Mama. Apa karna Zee itu anak yang gak Mama harapan? Zee pernah denger Mama sama Nenek bilang, kalo Ayah gak mau punya anak cewek, makannya Ayah ceraiin Mama? Itu alesan Mama benci sama Zee, alesan Mama gak perhatian sama Zee, gak perduli sama Zee. Tolong Ma, Zee masih butuh Mama." Zee sudah tidak bisa menahan unek-uneknya lagi, air Mata Zee sudah turun dengan derasnya. Zee berharap setelah Zee keluarin unek-uneknya kepada Mamanya, Mamanya bisa berubah. Mamanya bisa perhatian, perduli dan sayang dengan Zee.

"Zee! Kamu juga harus ngerti dong. Kamu ini bukan anak kecil lagi, kamu udah dewasa. Kamu harus bisa mandiri, masa iya kamu pengin dimanja terus. Mama tau dari dulu kamu dimanja sama Nenek, makannya kamu gak bisa bersikap dewasa. Ini Mama Zee, bukan Nenek yang selalu manjain Zee. Apalagi Mama lagi hamil adek kamu, kamu dewasa dikit dong Zee!"

Zetta pergi meninggalkan Zee yang masih menangis, kurang dewasa apa lagi coba? Zee berusaha cari uang sendiri, ia tidak akan meminta uang kepada Zetta ataupun Gevan. Kecuali mereka sendiri yang memberikan uang, Zee harus bersikap dewasa seperti apa lagi? Supaya Mamanya perduli. Apa memang Zee ditakdirkan tidak mendapatkan kasih sayang orang tuanya?

Zee menghapus air matanya, ia tidak boleh putus asa. Neneknya pernah menasehati Zee, setiap orang yang hidup pasti punya masalah maupun cobaan. Hidup gak selalu bahagia, ada kalanya kita di uji berupa kesedihan.

***
Semilir angin menyejukkan seorang pria tampan yang sedang memetik gitar di balkon kamarnya, memetik asal gitar serta bergumam untuk iringan petikan gitarnya. Lagi asik-asiknya bermain gitar, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.

"Astagfirullah, Masyaallah. Rapli kaget! Untung gak jatuh, mati gue kalo jatuh dari sini kebawah." Rapli mengelus dadanya, lalu menatap tajam Papahnya.

"Gak jadi mati kan? Kalo mati beban Papah berkurang dong. Alhamdulillah kalo gitu," ucap Alka sambil terkekeh.

"Tega sekali Bapak Alka yang terhormat dengan anakmu yang ganteng dan keren ini."

"Kamu emang ganteng, keren! Siapa dulu Papahnya? Kalo kamu bukan anak Papah, kamu gak bakal ganteng dan keren gini."

Rapli mendengus kesal. "Iyain aja, Rapli waras, Rapli ngalah."

Rapli meletakan gitarnya disebelah ranjang kasurnya, kemudian menghampiri Papahnya yang sedang duduk di sofa kamarnya. Rapli ikut duduk disebelah Alka.

"Rap, kamu ini anak Papah satu-satunya. Papah sayang sama kamu, mumpung Papah lagi ada waktu buat kamu, kalo kamu punya masalah kamu bisa cerita sama Papah. Kita sama-sama cowok juga, siapa tau Papah punya solusi buat kamu."

"Tumben, Papah ke gini? Muka gue kelihatan galau banget atau gimana sih? Sampai Papah nyadar gue punya masalah, tapi kan masalah percintaan. Masa iya gue curhat?" batin Rapli.

"Kalo mau cerita, cerita aja! Gak usah sok mikir-mikir dulu," seru Alka.

"Papah tau ko, kamu cinta kan sama Zee?"

"Buset, bokap gue punya indra ke 6 apa ya?" batin Rapli.

"Rapli cuman nganggap Zee itu kaya adek Rapli, Rapli sayang sama Zee kaya abang sama adek."

"Jangan sampai karna gengsi atau ego kamu, kamu jadi nyesel Rapli! Kamu gak tau kan berapa banyak cowok yang suka sama Zee? Nanti nyesel Papah orang pertama yang bakal ngetawain kamu."

Alka kemudian bangkit, Alka ingin pergi tetapi ucapan putranya membuat Alka menghentikan langkahnya.

"IYA, RAPLI EMANG CINTA SAMA ZEE!"

Alka tersenyum lalu menatap putranya yang sedang menundukkan kepala, Alka memegang pundak Rapli.

"Gak usah malu, Papah juga pernah muda."

"Mau denger cerita Papah sama Mama waktu muda?"

Rapli menatap Alka, lalu menganggukan kepalanya.

"Bikinin Papah kopi dulu, nanti Papah bakal cerita," ucap Alka sambil terkekeh.

"Males!"

"Ya udah Papah gak bakal cerita, padahal kan Papah cerita supaya kamu bisa contoh Papah buat dapetin Zee, soalnya nasib kamu sebelas dua belas sama Papah."

"Maksudnya?"

"Dulu itu, Papah sama Mama gak di restuin sama Kakek, Nenek."

"Kasian," gumam Rapli.

"Dasar anak Bella gak tau diri? Mau Papah ceritain gak?"

"Ya, mau sih."

"Ok, Rapli bikin kopi dulu," Rapli pergi meninggalkan Alka menuju dapur.

"Gak papa deh jadi pembokat dulu, demi denger cerita Papah Alka," ucap Rapli sambil mengambil cangkir kosong.

Rapli kembali menuju kamarnya sambil membawa secangkir kopi buatanya, Alka tersenyum melihat Rapli yang membawa kopinya.

"Silakan tuan Alka yang terhormat," ucap Rapli sambil memberikan secangkir kopinya.

"Kayanya enakan ngobrol di ruangan kerja Papah deh, bawain kopinya." Alka terlebih dahulu pergi meninggalkan Rapli.

"Sabar Rapli, Papah mu itu! Jangan sampai lo emosi terus tendang pantat Papah lo sendiri," batin Rapli.

Rapli pergi menghampiri Alka, lalu meletakan kopinya di meja. Alka tersenyum kearah Rapli, Rapli mendengus kesal.

Alka mengambil kopi buatan putranya, lalu meminum kopinya.

Byurrr

Alka langsung menyemburkan kopi yang ia minum, muka Alka seperti orang yang menahan emosi. Rasa kopi buatan Rapli benar-benar sangat nikmat sekali, sampai-sampai Alka ingin muntah.

"RAPLI MALQULER WIJAYA!"

"Hadir!"

"Kamu bikin kopi pakai gula atau garam?" geram Alka.

"Pakai gula lah."

"Kayaknya tapi," gumam Rapli.

"Uang jajan kamu Papah potong," Alka keluar meninggalkan Rapli.

Rapli hanya pasrah, meratapi nasib kalo uang jajannya harus di potong. Rapli sadar bahwa dirinya tidak pantas jadi pembokat, buktinya bikin kopi aja tidak bisa. Maklum muka ganteng, keren! Masa iya jadi pembokat?

Love Someone Writer [Completed]Where stories live. Discover now