Escape

116 16 41
                                    


Deru napas yang memburu membuat ketegangan di dalam mobil. Meski pria yang di sebelahnya sudah memperingatinya berkali – kali agar tetap tenang, tetap saja gadis itu merasa panik dan takut. Entah sudah berapa banyak selongsong peluru yang di tembakkan ke badan mobil yang sedang ia kendarai. Membuatnya meringkuk menangkup kepalanya dalam pelukan.

Tangannya yang semula hangat kini terasa begitu dingin. Tubuhnya bergetar meski ini bukanlah hal baru baginya. Pelarian antara hidup dan mati membuat keduanya harus terus berusaha agar dapat menghindar.

Satu tembakan di ban mobil miliknya berhasil membuat mobil itu menjadi tidak seimbang. Pria itu pun mengumpat karena kesal. Cih sial.

Pria itu memberi instruksi kepada gadis yang berada di sebelahnya agar mengikuti perintahnya.

“Kita harus turun.” Katanya sesaat mobil sudah berhenti meski tidak terparkir dengan sempurna.

Keduanya turun dari mobil lalu berlari. Meninggalkan kendaraan roda empat itu yang sudah tak mampu berjalan kembali. Menyamarkan diri di tengah kerumunan orang yang berlalu lalang yang sangat padat di tengah kota.

Gadis itu merasakan paru – parunya terasa akan meledak. Pemuda itu tak henti – hentinya menarik lengannya agar terus berlari mengimbangi langkahnya. Sesekali pria itu menoleh ke belakang untuk melihat keadaan.

“Sial. Mereka masih mengikuti kita.” Pria itu mengumpat. Betapa sangat tidak menyenangkan melarikan diri di tengah musim dingin yang baru saja tiba.

Debar jantung keduanya semakin berdetak hebat. Deru napas yang memburu juga membuat antara hati dan pikiran seakan terpecah. Antara lelah dan pemikiran bahwa ia harus selamat, gadis itu terus memaksakan kesadarannya. Bahkan napas yang baru ia hembuskan sudah berubah menjadi gumpalan asap putih yang menandakan bahwa udara pada malam itu sangat dingin. Dadanya serasa akan meledak beberapa detik lagi.

“Ayo!”

Mereka terus berlari menuju stasiun bawah tanah untuk melarikan diri. Langkah kaki mereka yang terdengar cukup keras untungnya tidak terlalu menarik perhatian meski napas keduanya mulai tersengal – sengal dengan langkah kaki yang mulai goyah.

Namun mereka harus terus berlari hingga langkah mereka berhenti di sebuah loket. Pria itu mengeluarkan dompetnya dan memberikan sejumlah uang untuk membeli dua tiket dengan tujuan Gwangju. Gadis itu melihat sekitar untuk memastikan dirinya dan juga pria yang bersamanya ini juga selamat. Begitu transaksi selesai, dengan mudahnya seakan gadis itu sangat ringan, ia menariknya untuk masuk ke dalam kereta yang dua menit kemudian tiba di peron.

Tanpa perlawanan gadis itu hanya menurut kepada pria yang berusaha menuntunnya untuk mencari tempat duduk yang kosong dan juga jauh dari keramaian. Dari dalam jendela, begitu kereta itu mulai berangkat, pemuda itu mulai bernapas lega. Dua pengejar itu tidak mengikuti mereka hingga masuk ke dalam kereta.

“Apa kita sudah bebas?” kata gadis itu bertanya dengan napas naik turun. Berusaha meraup oksigen sebanyak – banyaknya. Paru – parunya terasa sakit karena ia serasa berada pada sebuah perlombaan lari maraton.

“Untuk sementara ini, kita aman.” Pemuda itu berdiri di depan gadis itu dengan berpegangan di sebuah pegangan kereta yang menggantung.

Dengan napas yang sedikit lega, ia menarik topinya sehingga rambutnya yang berwarna hitam pekat tergerai sempurna. Keringatnya pun menetes melewati pelipisnya. Dengan punggung tangannya ia menyeka peluhnya lalu mulai bersandar untuk meliruskan tulang punggungnya yang sempat tegang dan terasa sakit.

“Baguslah kalau begitu.” Aera mulai memejamkan matanya untuk menghilangkan rasa lelahnya sejenak.

“Sementara kita akan tinggal di hotel.” Jungkook menginformasikan tujuan mereka selanjutnya.

Make It RightWhere stories live. Discover now