Harapan

31 5 2
                                    

Aku terus mencari buku di rak tersebut sampai akhirnya aku menemukan sebuah buku yang sudah sangat berdebu. Entah kenapa aku punya firasat bahwa buku ini akan memuat apa yang aku butuhkan. Ku ambil buku itu, saat kubuka isinya, rupanya benar. Buku ini berisi teknik-teknik kuno yang saat ini sudah terlupakan, aku membuka halaman demi halaman untuk mencari teknik yang ingin kucoba. Mendekati halaman akhir, aku menemukan tulisan "Śūnyatājiva", mataku terbelak saat menemukannya, bagaikan menemukan sebuah harta karun.

Kubaca dengan seksama halaman demi halaman mengenai teknik itu. Di sana tertulis bahwa teknik ini sudah amat jarang digunakan pada masa buku itu ditulis karena selain menguras tenaga, rupanya cukup sulit untuk menahan Nirjiva agar tidak melawan saat akan disegel. Ditambah lagi jauh lebih mudah untuk menghancurkan Nirjiva dibandingkan menyegelnya. Aku mengerti mengapa teknik ini punah di zaman sekarang karena tidak ada gunanya menyegel Nirjiva. Aku membaca berulang-ulang setiap halaman bagian itu untuk bisa memahami apa yang harus kulakukan namun sepertinya teknik ini perlu untuk dipraktikkan.

"Tjoe Hauw, di mana kau?" seru Widi, "kami sudah menemukan petunjuk mengenai Mustika Putih."

Dengan cepat kusimpan buku itu di dalam tasku. Aku harus mempraktikan teknik ini segera sebelum aku bertemu kembali dengan Intan. Aku berjalan ke arah Widi dan bertanya, "Jadi apa yang kau temukan?"

"Konon Mustika Putih disimpan di sebuah kuil Buddha di wilayah seberang lautan." jawab Widi.

"Jadi maksudmu benda itu tidak ada di Bali?" sahut Bambang.

"Begini, wilayah Kerajaan Klungkung mencakup daratan Bali dan wilayah kepulauan seperti Nusa Lembongan, Nusa Penida, Nusa Ceningan, dan beberapa pulau-pulau kecil lainnya. Jadi kemungkinan pusaka itu disimpan di sana," jelas Widi pada kami.

"Baiklah ayo kita bergegas kalau begitu sebelum Nirjiva Darah itu mendapatkannya," balas Bambang. Aku terdiam mendengar perkataan Bambang, aku hanya berharap bisa bertemu Intan di tempat itu.

"Kita tidak bisa langsung ke sana, kita harus menggunakan kapal untuk menyeberang, masalahnya saat ini tiap malam selalu ada badai besar di laut sehingga paling cepat besok pagi baru kita bisa menyeberang ke sana," sahut Widi.

"Adik-adik bisa bermalam di rumah saya," kata Pak Ardian sembari tersenyum.

"Wah terima kasih tuaji, kami jadi merepotkan," kata Widi.

Pak Ardian memang orang yang baik, tidak hanya membantu mencari petunjuk namun dia juga menyediakan tempat bagi kami untuk bermalam.

Pak Ardian memberikan kami 3 kamar untuk ditempati. Sesampainya di kamar itu aku mengeluarkan buku yang kuambil dari perpustakaan itu. Kubaca kembali dengan seksama untuk memastikan aku bisa melakukan teknik Śūnyatājiva. Munculah sebuah ide di kepalaku, "mungkin aku harus mencobanya dahulu," kataku di dalam hati. Aku segera bangkit berdiri dan menemui Pak Ardian.

"Tuaji, apa di sekitar sini ada rumah atau tempat yang dikenal angker?" tanyaku sembari tersenyum.

............................................................................................................................................

Sementara itu, di sebuah biara Budha di Klungkung.

"Siapa kau sebenarnya!" teriak seorang biksu yang sedang dicekik oleh sebuah tangan yang sangat besar.

"Katakan di mana Mustika Putih berada," tanya Intan sembari mengamati Angkara sedang mencekik biksu itu.

"Aku tidak tahu di mana benda itu," balasnya.

Angkara segera menyalakan api di tangannya dan membakar biksu itu hingga hangus terbakar. "Sekarang siapa yang mau mengatakan di mana benda itu berada," tanya Intan sembari tersenyum.

Intan tengah menyerang sebuah biara tersebut berdasarkan informasi yang dia terima, di sana ada yang mengetahui keberadaan Mustika Putih

Angkara menghempaskan tubuh biksu lain yang sudah hangus terbakar, "sekarang siapa lagi yang mau dihanguskan?" tanyanya sembari tersenyum.

Dia melihat seorang biksu yang sudah berusia lanjut, "Apa yang kau lakukan ini sungguh berdosa gadis kecil, bertobatlah sebelum karma buruk akan menghampiri," kata biksu tua itu.

"Aku tidak memilih untuk menjadi seperti ini, namun takdirlah yang menjadikanku iblis," balas Intan sembari menghampiri biksu itu.

Intan tahu bahwa para biksu itu akan memilih mati daripada harus memberi tahu keberadaan Mustika Putih. "Angkara tahan dia, sepertinya aku tahu apa yang harus kulakukan," kata Intan.

Angkara segera menghampiri biksu itu untuk mencekiknya. Si biksu tua itu tampak tabah dan menahan sakit, "aku tetap tidak akan mengatakannya," jawabnya tenang.

"Aku memang tidak butuh kau untuk bicara," jawab Intan sembari menyeringai. Getih sempat mengajarkan sebuah teknik untuk menarik informasi dari pikiran manusia. Dia memegang kening dari biksu itu dan mencoba menarik keluar informasi mengenai Mustika Putih.

"Ah ketemu!" seru Intan, "sekarang habisi mereka semua Angkara!" kata Intan.

Angkara mengangguk dan membakar tubuh biksu tua itu hingga hangus. Dia kemudian membantai seluruh biksu yang masih hidup dengan kejam sementara Intan berjalan dengan santai keluar dari biara tersebut. Dia melemparkan api ke arah biara hingga seluruh bangunan itu dilalap oleh api.

Bhurloka Universe: The RogueWhere stories live. Discover now