Pengorbanan

63 6 0
                                    

Wajah Intan tampak berbinar saat aku mengatakan kesediaanku untuk menemaninya setiap sore. "Asal jangan merepotkan bli, aku senang kalau bisa ngobrol-ngobrol dengan bli, o ya bli bisa panggil aku geg, itu panggilan orang Bali untuk adik perempuan" balasnya. 

Aku senang sekali mendengar perkataan Intan, apakah dia sudah menganggapku sebagai kakaknya. "Baik geg, besok sore bli akan ke sini lagi," jawabku. Akupun berpamitan pulang. Entah mengapa aku merasa begitu senang, sudah lama aku tidak merasakan perasaan semacam ini.

Sesampainya di rumah, tampaknya semua orang sudah tidur. Kubuka pintu itu dengan perlahan. Aku melihat Widi masih di ruang tamu sembari membaca beberapa buku catatannya. Aku menyapanya dengan ramah, "Belum tidur Wid?"

"Aku sedang tidak bisa tidur nih, kamu baru dari mana? Tampaknya wajahmu begitu senang," ujarnya sembari tertawa cekikikan, "aku tahu kamu habis bertemu dengan teman perempuan kan!"

Aku tertegun untuk sejenak, "wah wah memang benar kau 'orang pintar' ya," jawabku, "Iya aku bertemu dengannya pada saat mencari kalian di pasar."

"Tidak perlu jadi 'orang pintar' untuk bisa tahu kalau seorang laki-laki sedang jatuh cinta," jawab Widi sembari tertawa. "Aku tidak akan berkata seperti Bambang namun aku hanya ingin memberitahumu bahwa orang seperti kita sering kali susah menjalin hubungan dengan orang biasa." Wajah Widi menunjukkan ekspresi sedih.

"Apa maksudmu Widi? Apakah orang semacam kita tidak akan bisa menjalani kehidupan normal?" tanyaku penasaran

Widi menggelengkan kepalanya, "Bagi Bijali seperti kita sangat sulit untuk hidup sebagaimana orang kebanyakan." Dia mengambil segelas air yang terletak di atas meja dan diteguknya, aku melihat wajahnya tampak sedih. "Sebenarnya dulu aku sudah pernah menikah dengan seorang pria namun dia dibunuh oleh Nirjiva yang saat itu sedang kutangani kasusnya. Dia dibunuh di depan mataku sendiri. Beruntung aku belum dikaruniai anak sehingga kini aku bisa mengabdikan hidupku untuk memburu para Nirjiva itu." lanjutnya.

Aku melihat matanya sembab akibat kenangan pada mendiang suaminya. "Maaf seharusnya kita tidak membicarakan ini," jawabku yang merasa bersalah.

"Tidak apa, aku hanya tidak ingin kamu mengalami hal yang sama sepertiku. Menjalani kehidupan sebagai seorang Bijali seringkali harus mengorbankan perasaan dan juga kehidupan pribadi. Jangan sampai kau mengalami seperti yang kualami," katanya sembari mengusap air mata yang menetes di pipinya. 

Aku merangkul pundaknya dan berkata, "Terima kasih Widi. Aku mungkin belum pernah mengalami hal mengerikan seperti itu. Tapi aku tahu kau sudah mengalami hidup yang berat." Kucoba untuk menghiburnya meskipun aku tidak yakin itu berhasil.

Widi mengangguk dan pamit untuk tidur. Tampaknya hatinya benar-benar pedih mengingat kenangan buruk itu. Aku pun bergegas menuju ke kamarku. Malam itu perasaanku campur aduk, di satu sisi aku senang karena bisa bercakap-cakap dengan Intan namun di sisi lain aku tidak ingin membawanya ke dalam bahaya. Apa mungkin seorang Bijali harus selalu mengorbankan hidupnya demi dunia. Tidak bisakah kami hidup bahagia. Entahlah, aku pun terlelap karena terlalu lelah memikirkannya.

..........................................

Selama beberapa hari berikutnya aku tetap mengunjungi Intan setiap sore. Aku tahu bahwa aku bisa saja mengakibatkan dia dalam bahaya namun aku tidak bisa membohongi perasaanku. Yah mungkin aku egois, biarlah ini berjalan dulu, aku tidak mau memikirkannya. Sore ini adalah hari kelima aku mengunjunginya, sebelum berangkat Bambang menemuiku dan berkata, "Aku baru saja menerima sepucuk surat dari seorang kepala desa di wilayah Buleleng. Ada aktivitas Nirjiva yang cukup kuat di sana. Mereka sudah memanggil paranormal setempat namun dia tewas secara mengerikan. Mereka memohon bantuan kita." 

"Apakah ini terkait dengan Angkara?" balas Widi.

"Kita masih belum tahu siapa dia. Kepala desa pun juga tidak tahu siapa Nirjiva ini. Menurutku kita harus menyelidikinya secara langsung. Besok kita semua berangkat ke Buleleng," ujar Bambang.

"Baiklah, mari kita tolong orang-orang malang itu," jawabku.

Sebenarnya aku merasa senang, akhirnya aku bisa memburu roh jahat atau Nirjiva namun di sisi lain, aku merasa sedih karena harus berpisah dengan Intan. Akhirnya aku sampai di rumahnya, seperti biasa kami berjalan berdua ke arah bukit di tepi pantai. Aku memandang matahari yang terbenam bersamanya. Intan menyadari aku sedang sedih. "Kenapa Bli, tampaknya lagi banyak pikiran," tanyanya.

"Iya geg, aku besok pagi harus ke Buleleng, ada gangguan roh jahat di sana. Sebenarnya aku bekerja sebagai paranormal," kataku padanya dengan lirih.

"Wah ternyata bli paranormal, Intan sering mimpi buruk, mungkin bli bisa membantu mengusir roh jahat yang mengganggu Intan," balasnya sembari tertawa kecil.

Kepeluk tubuh mungil Intan erat-erat, "nanti setelah aku kembali dari Buleleng, akan kuusir semua roh jahat yang menganggumu geg," balasku.

"Geg, aku ingin bilang sesuatu," kataku dengan gugup

"Kenapa bli?" jawabnya sembari menyandarkan pundaknya di bahuku.

"eeeee, aku ingin mempersuntingmu menjadi istriku setelah aku kembali dari Buleleng, aku ingin menemanimu memandang matahari terbenam selamanya," kataku melanjutkan.

"Aduh bli, aku jadi malu. Iya bli, aku juga nyaman bersama dengan bli. Aku merasa senang ketika bli datang dan menemaniku di sore hari," balasnya dengan wajah yang memerah

Aku merasa begitu bahagia dia menerima lamaranku, kukecup bibirnya dengan lembut. "Aku mencintaimu Intan," kataku sembari membelai rambutnya. Dia membalas ciumanku sembari mengangguk. Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Aku menggandeng tangannya untuk berjalan pulang ke rumahnya.

Perasaanku benar benar senang, mungkin inilah yang namanya cinta.

Bhurloka Universe: The RogueWhere stories live. Discover now