Cinta

80 6 1
                                    

Bambang menggelengkan kepalanya, "Belum ada tanda-tanda sama sekali kemunculan Angkara, kami berdua sudah dua tahun menjadi 'orang pintar' namun kasus yang kita tangani kebanyakan adalah kasus-kasus gangguan Nirjiva biasa bukan Nirjiva Darah yang menjadi lawan kita"

"Omong-omong dari mana asalmu? Guru hanya bilang bahwa dia akan mengirim seorang murid dari negeri seberang." Widi mencoba membuka percakapan untuk mencairkan suasana. Widi memang seorang wanita yang sangat menarik dan berkepribadian menyenangkan.

"Aku berasal dari sebuah kota pelabuhan bernama Singapura yang terletak di ujung selat Malaka, bagaimana dengan kalian?" jawabku sembari menyereput kopi yang disajikan oleh Nini Ratih. 

"Aku berasal dari Surakarta sementara Widi berasal dari Klungkung. Berapa lama guru melatihmu?" sahut Bambang. Aku mengangguk meskipun tidak benar-benar paham di mana letak wilayah yang disebutkan Bambang. Entah kenapa aku merasa kurang begitu cocok dengan kepribadian Bambang, sepertinya dia orang yang cukup keras kepala, namun demi menjalankan misi kami, aku mau tidak mau harus bekerja sama dengannya.

"Selama 2 tahun, bagaimana dengan kalian?" balasku.

"Wah lama juga ya kamu bersama guru!" Widi tampak terkejut dengan jawabanku, "Dulu kami berdua hanya bersama guru selama 5 purnama." 

Kami bercakap-cakap cukup lama mengenai latar belakang kami. Dari sana aku tahu kalau mereka berdua bukanlah pasangan suami-istri seperti yang aku sangka. Tiba-tiba aku teringat kalau aku punya janji bertemu dengan Intan, kuambil sebuah jam dari sakuku. Sekarang sudah pukul 03.00 sore. Aku harus bergegas ke rumah Intan. Aku berpamitan pada mereka, "Mohon maaf teman-teman aku ada janji bertemu dengan seseorang sore ini."

"Temanmu? Kau baru saja mendarat di sini dan sudah punya teman? Baiklah tapi ingat bahwa kita di sini bukan untuk berteman dengan orang lain, kita di sini untuk menjalankan misi yang jauh penting," ujar Bambang. Orang ini benar-benar arogan dan suka mengatur, baiklah aku harus bersabar menghadapinya demi terlaksananya misi ini. "Tentu saja perhatian utamaku adalah misi kita, baiklah aku permisi dulu," jawabku mengakhiri pembicaraan karena aku tidak mau berdebat lebih lama dengannya.

Nini Ratih datang dan menunjukan di mana kamar yang bisa kutempati. Rumah ini cukup luas, mungkin orang-orang di sini akan terkejut ketika melihat betapa sempitnya perkampungan di Singapura. Kuletakan barang-barangku di kamar lalu aku bergegas berjalan kembali ke pasar tempat aku bertemu Intan. Lantaran aku sudah tahu rute yang harus kulewati, aku bisa menempuh perjalanan itu dengan lebih cepat. 

Sesampainya di desa Intan, aku bertanya pada penduduk setempat di mana rumah Bapak I Nyoman Widiarsa, mereka menunjukkan arah rumahnya padaku. Setelah berjalan cukup jauh ke dalam desa, aku menemukan rumahnya. Bangunan itu cukup besar dibanding rumah yang lain meskipun terletak agak jauh dari rumah tetangga. 

Kuketuk pintu rumahnya, aku sudah menyiapkan mentalku untuk bertemu ayah dari Intan, namun yang membukakan pintu ternyata Intan sendiri. Dia tersenyum dan berkata, "Halo bli, ingin melihat apa di Bali?" Saat melihatnya muncul aku bingung harus berkata apa. Aku mengamati rumahnya yang jauh lebih besar daripada rumah tinggalku, terdapat sebuah foto keluarga di ruang tamunya. Tampak ada foto ayah, ibu, dan 3 anak perempuan. "Bagaimana kalau pantai? Di tempat asalku tidak ada pantai yang cukup bagus, aku dengar Hindia Belanda punya banyak pantai yang Indah," jawabku padanya. 

Intan mengangguk, "Ada sebuah pantai di desa ini, mari kita ke sana." Dia berjalan menuntunku melintasi ladang. Sepanjang perjalanan aku mencoba mengenalnya lebih jauh, "Jadi orang tuamu tinggal di desa ini juga kah?"

"Tidak mereka sudah meninggal," jawabnya sembari menggelengkan kepala, "Orang tuaku dulu adalah kepala desa ini tapi ketika Jepang datang, ayah berusaha untuk mencegah mereka mengambil penduduk desa ini untuk dijadikan pekerja paksa, akhirnya mereka membunuh ayah dan ibuku." 

Aku terkejut mendengar ceritanya, dia sama sepertiku, dia juga korban perang yang meluluh-lantakkan tempat tinggal kami. Untuk sesaat aku merasa bahwa kami memiliki kesamaan nasib. Aku bertanya lebih lanjut, "Jadi sekarang kamu tinggal bersama kakak-kakakmu saja?"

"Mereka sekarang entah kemana. Setelah tentara Jepang membunuh ayah dan ibu, mereka memperkosa kedua kakak-ku dengan brutal sebelum membawanya pergi." jawab Intan dengan lirih. Tampak setitik air mata menetes di pipinya. Intan bercerita bahwa pada saat itu dia berhasil lari dan bersembunyi di hutan di belakang rumahnya. Dia merasa marah namun tidak berdaya melihat kedua kakaknya diperkosa dan dibawa pergi oleh tentara Jepang.

Aku merasakan kemarahan di dalam dirinya, aku juga merasa bersalah karena membuka percakapan dengan topik yang meninggalkan kenangan buruk baginya. Tidak terasa kami sudah tiba di pantai. Tempat ini benar-benar indah, tidak seperti pelabuhan Singapura yang kumuh dan penuh dengan kapal. Aku berusaha membuatnya ceria dengan mengajaknya bermain air di pantai. Keceriaannya kembali lagi seperti semula meskipun aku tahu sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya ada kepedihan yang mendalam.

Menjelang matahari terbenam, Intan mengajakku untuk naik ke atas bukit di tepi pantai. Di sana kami duduk berhimpitan untuk saling menghangatkan tubuh kami karena baju kami berdua basah kuyup. Dia bertanya padaku, "Bagaimana dengan bli? Di mana keluarga Bli?"

Kuceritakan latar belakangku padanya namun aku tidak menceritakan mengenai Delano dan juga misiku. Aku tidak ingin membahayakannya dengan memberi tahu tentang misiku. Sore itu bisa dibilang adalah sore yang tidak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku

Matahari sudah terbenam, kami berjalan pulang ke rumahnya. Sesampainya di depan rumahnya, dia berkata padaku, "terima kasih ya bli sudah menolong dan menemaniku hari ini, aku sangat senang bisa berkenalan dengan bli." Aku bisa merasakan sedikit keceriaan telah muncul kembali dari dalam diri gadis yang  murung ini. 

"Kalau kamu tidak keberatan, aku mau menemanimu setiap sore untuk melihat matahari terbenam," jawabku padanya tanpa berpikir.

Ah apa yang baru saja kulakukan! Bukankah aku punya misi yang lebih penting daripada melihat matahari terbenam bersamanya. Namun aku seakan tidak peduli lagi, kurasa aku telah jatuh cinta pada gadis ini. Dia sama sepertiku, kesepian di tengah hiruk pikuk dunia ini, aku ingin mengenalnya lebih jauh.

Bhurloka Universe: The RogueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang