Bali: 1949

51 6 2
                                    

Aku melihat tanggal tiket yang dibeli Delano, dia memberikan tiket kapal yang berangkat nanti sore. Aku segera berkemas kemas untuk kembali ke Singapura. Aku berpamitan dengan Maryam dan bergegas untuk menuju ke jalan raya. Di sana aku berhasil mendapat tumpangan truk pengangkut kelapa yang kebetulan menuju ke Singapura. Aku berhasil sampai tepat waktu ke pelabuhan. Teman-temanku kaget dengan kemunculanku. Aku menghilang selama 2 tahun tanpa berpamitan dengan mereka, sontak mereka menanyai kemana saja aku dan kemana aku akan pergi. Aku tidak bisa memberi tahu tentang Delano pada mereka sehingga aku hanya menjawab bahwa aku pergi merantau ke Indonesia atau yang sebelumnya dikenal dengan nama Hindia Belanda.

Beberapa saat kemudian kapal yang akan mengangkut ku sudah tiba di pelabuhan, aku berpamitan dengan mereka. Mungkin ini terakhir kalinya aku bertemu dengan mereka. Setelah mengucapkan perpisahan aku bergegas naik ke kapal dan mencari di mana kamar tidurku. Delano memesan tiket kelas 1 bagiku sehingga aku mendapatkan kamar yang cukup nyaman. Awak kapal berkata bahwa perjalanan ke pelabuhan Benoa akan ditempuh selama 5 hari 4 malam. Perjalanan yang cukup panjang namun aku betul betul bersemangat untuk menjalankan amanat Delano. Sebelumnya aku hanyalah seorang kuli angkut pelabuhan namun kini aku pergi untuk menyelamatkan umat manusia.

Perjalanan selama di kapal itu berjalan cukup lancar lantaran cuaca cerah. Setelah 5 hari berlayar, sampailah aku di Pelabuhan Benoa. Aku turun dari kapal dan mencoba bertanya pada beberapa orang tentang keberadaan Bambang dan Widi namun ini seperti mencari jarum di antara tumpukan jerami. Pulau Bali luasnya 8 kali lebih besar dibanding Singapura. Aku berjalan ke sana kemari untuk mencari mereka berdua namun aku tidak berhasil menemukan siapapun yang mengenal mereka. Matahari sudah mulai tinggi pada saat itu, perutku benar benar lapar.

Kuputuskan untuk mengisi perutku dahulu sebelum lanjut mencari mereka. Aku berjalan ke arah pasar untuk mencari penjual makanan, di sini tentu saja tidak ada kopitiam yang menjual susu dan roti srikaya. Aku berjalan terus ke arah pasar hingga aku melihat sebuah warung kecil yang menjajakan makanan. Penjualnya adalah seorang gadis berusia sekitar 19 tahun, sekitar lebih muda 4 tahun dariku. Aku masuk ke warung itu dan bertanya, "aku mau membeli makanan, apa kau punya mie kuah?" Saat kupandang wajahnya, jantungku serasa berhenti berdetak, parasnya sangat cantik. "Tidak ada yang menjual makanan itu kecuali babah gemuk yang tinggal di dekat Badung, kamu pasti bukan orang dari sini ya?" balasnya sembari tertawa kecil.

Senyumnya yang manis sungguh menggetarkan hatiku. Kubalas perkataannya, "Iya aku baru saja turun dari kapal." Belum selesai aku berbicara, tiba tiba 3 orang pria bertubuh besar datang ke warung itu. Wajah gadis itu tampak ketakutan ketika melihat mereka. "Kamu sudah menunggak uang keamanan selama seminggu, cepat bayar atau warungmu kami hancurkan!" seru mereka dengan kasar. Gadis itu menjawab dengan ketakutan, "Maaf bli, beberapa hari ini saya sakit jadi tidak bisa jual makanan, saya belum ada uang."

Aku dengan cepat menganalisis keadaan, gadis itu akan berada dalam masalah karena tidak punya uang untuk membayar para preman tersebut. Hatiku bergejolak haruskah aku ikut campur urusan ini atau aku pergi. Namun aku tidak bisa meninggalkan gadis ini dalam masalah. Aku segera bangkit berdiri dan berkata, "Tinggalkan gadis itu, aku akan membayar uang keamanannya." Aku berusaha menghindari perkelahian yang tidak perlu seperti yang Guru Delano ajarkan padaku.

"Heh orang asing! Jangan ikut campur urusan kami," jawab salah seorang preman itu. Serta merta dia maju untuk menghajarku. Dengan mudah aku menghindari serangannya, tampaknya latihan yang diberikan Delano membuatku lebih mampu untuk berkelahi. Dua temannya segera bergegas untuk menyerangku. Melawan 3 orang sekaligus rupanya cukup merepotkan, tampaknya mereka tidak akan berhenti sebelum ku pukul mundur.

Aku bergerak dengan cepat menghindari serangan mereka, kemudian saat salah seorang dari mereka berada cukup dekat, ku layangkan tinju ke dagunya. Segera saja dia terpelanting ke tanah, dan tergeletak. Dua orang yang lain tetap menyerangku dengan membabi buta. Kali ini masing-masing mengeluarkan sebilah pisau, semakin sulit saja posisiku. Aku mundur untuk menghindari hujaman pisau mereka dan saat ada kesempatan ku tendang mereka berdua tepat di kepala mereka. Keduanya tersungkur ke tanah.

Aku tahu gadis ini akan mendapat masalah esok hari bila tidak ada yang membayar uang keamanan ke preman itu. Kuambil sejumlah uang dari sakuku dan kuletakkan di tanah. "ini uang keamanan gadis itu, jangan ganggu dia lagi," kataku pada mereka.

Aku kembali ke warung dan melihat gadis itu tampak kaget dengan perbuatanku. "Aku benar benar lapar sekarang," kataku padanya. Dia dengan cepat mengambil sebuah daun pisang dan meletakkan nasi beserta beberapa lauk pauk di atasnya. Dia memberikan makanan itu kepadaku dan berkata dengan lirih, "Terima kasih."

"Sama sama, kenalkan aku Oei Tjoe Hauw," kataku sembari mengambil makanan itu dari tangannya.

"Sekali lagi terima kasih Tjoe Hauw, namaku Ni Komang Intan Purnama," balasnya sembari tersenyum padaku.

Bhurloka Universe: The RogueOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz