"Ya tidak salah, sih," jawab Namjoon. "Jadi apartemen ini kita jual saja lagi ya? Aku bersyukur semua barangku tidak lagi di sini karena berarti tidak akan menyusahkanmu. Apakah kau akan baik-baik saja mengurus sisanya, Hyung? Aku tidak ingin membuat ini semua seolah-olah sesuatu yang harus kau tanggung sendirian, dan keberangkatanku ke Amerika sangat tidak membantu jadi aku—"
"Hei, hei," Yoongi memotong perkataan Namjoon yang sudah siap-siap untuk terlontar lepas dari mulutnya karena khawatir dan panik. Tangannya menggenggam tangan Namjoon, sebuah cara untuk menenangkan hatinya yang mulai risau.
Yoongi melanjutkan, "Kau tahu aku tidak sendirian, kan? Masih ada Jin-hyung, Hoseok, Jimin, Taehyung, dan Jungkook untuk membantuku. Jangan biarkan ini membuatmu merasa bersalah untuk mengambil program pendidikan di sana, Namjoon-ah.
Namjoon lalu terdiam, dan hanya menatap wajah Yoongi di depannya. Ia akan sangat merindukannya, menghabiskan waktu dengannya. Percakapan melalui telepon atau video call sangatlah berbeda dengan mengalaminya secara langsung. Jadi ia memanfaatkan waktu yang tersisa sebelum keberangkatannya untuk mengingat kembali yang dirasakannya.
Kedekatan mereka. Tangan yang saling bersentuhan. Deru napas yang beraturan di tengah sunyinya ruangan.
Semua itu yang tidak mudah tersampaikan melalui video call sesampainya di Amerika.
"Di sana akan sepi tanpamu," kata Namjoon tiba-tiba, "aku akan merindukanmu, Hyung. Dan yang lainnya tentu saja..."
"Kau mengatakannya seolah-olah tidak akan pernah kembali saja," balas Yoongi sambil tersenyum geli.
"Benar juga, sih."
Tak lama kemudian, Yoongi beranjak bangun dari kasur lalu menarik lengan Namjoon, membuatnya ikut berdiri. Masih tersenyum, ia berkata, "Ayo kita bersepeda malam ini."
Yoongi kemudian melangkahkan kakinya keluar dari kamar Namjoon, meninggalkan Namjoon yang masih belum dapat mencerna ajakan hyung-nya. Lalu ia mengejar Yoongi yang sudah sampai di ruang tamu.
"Bersepeda, Hyung?" tanya Namjoon memastikan, memperoleh anggukan dari Yoongi.
"Ya, bersepeda. Seperti saat kita SMA dulu," jawabnya singkat.
".. Tapi, Hyung, ini sudah cukup malam, dan temperatur mulai turun. Bukankah kau tidak suka dingin, Hyung?"
"Bukankah ketika kau sedang jenuh kau akan memilih untuk bersepeda untuk melepas penat?" tanya Yoongi sambil memakai jaket dan topi sebelum memakai sepatunya. "Kurasa tidak ada salahnya sekali-kali aku menerjang dinginnya malam
Namjoon hanya menganggukkan kepalanya, "Iya sih."
"Kalau begitu, ayo siap-siap," kata Yoongi. "Ah, sebelum pulang, kita dapat membeli ramyeon untuk dimakan hangat-hangat di apartemen. Terdengar oke?"
Mendengar hal itu, Namjoon tersenyum. Mungkin momen ini akan menjadi salah satu momen yang akan dirindukannya selama ia tinggal di Amerika. Tentunya, ia tidak ingin menyia-nyiakannya.
Akhirnya Namjoon memutuskan untuk mengikuti ajakan Yoongi.
Dan siapa tahu...
Mungkin malam ini, Namjoon benar-benar telah menyiapkan hatinya dengan matang untuk mengungkapkan perasaannya.
---
"..."
"..."
"Hyung, kita bisa istirahat sebentar kalau kau mau," kata Namjoon sambil mengayuh pedal sepedanya dengan pelan untuk menyamai kecepatan Yoongi yang disadarinya semakin berada di belakangnya. Ia memang senang dapat menghabiskan waktu dengan Yoongi, tetapi ia tidak ingin melihatnya memaksakan diri. Lagipula, ia dapat melihat wajah putih pucat Yoongi mulai berwarna merah, menunjukkan tanda-tanda bahwa ia kedinginan.
YOU ARE READING
With Golden String
Fanfiction[COMPLETED] "Maaf aku tidak punya apa pun, Hyung. Maksudku... jika aku seorang pelukis, aku akan melukiskan dunia untukmu, dan jika aku seorang penyanyi, aku akan menyanyikan lagu untukmu. Namun, aku hanya... aku. Aku hanya bisa memberikanmu puis...
Chapter 3
Start from the beginning
