Namjoon menarik napas lalu melepaskannya perlahan.

"... Aku tidak ingin dibenci olehnya."

Seokjin hanya terdiam, mengindikasikan bahwa ia mendengarkan. Ia yakin masih ada hal yang ingin dikatakan oleh Namjoon kepadanya, sehingga ia tidak mengatakan apa-apa. Namun, ia tahu ia dapat mendengar suara Namjoon yang semakin lemah dan semakin mengecil. Ia tahu Namjoon tidak menangis, tetapi ia dapat mendengar kerapuhan hatinya.

Dan Seokjin tahu Yoongi. Sejak ia mengenalnya, ia tahu bahwa Yoongi bukanlah tipe orang yang mudah menjalin hubungan dengan siapapun. Tetapi dari kekhawatiran-kekhawatiran Namjoon, Seokjin yakin sebenarnya bukan itulah yang dipermasalahkan olehnya.

"Namjoon-ah, kurasa Yoongi tidak akan berbuat seperti itu," kata Seokjin sambil tersenyum. Ia menaruh tangannya di pundak Namjoon lalu mengelusnya, "kau tahu perkataannya tadi. Sampai kapanpun, kau adalah sahabatnya, baik kau mencintainya maupun tidak. Skenario terburuk, kalau ia memang tidak... menaruh rasa yang sama padamu, aku yakin hal ini tidak akan merusak hubungan yang sudah dimiliki kalian berdua... dan itu masih bukan yang terburuk, bukan?"

Tidak memperoleh respon dari Namjoon, Seokjin melanjutkan, "Ayolah, kita masuk ke dalam. Keburu makan malam kita sudah dingin dan malah kita tidak makan apa-apa. Kita tidak ingin suasana di dalam semakin tambah aneh, ya kan?"

Namjoon kemudian menganggukkan kepalanya, sebelum beranjak dari senderan balkon, dan melangkahkan kakinya menuju restoran supaya dapat bertemu dengan yang lain. Seokjin pun mengikuti dari belakang sambil terus mengingat perkataannya pada Namjoon sebelumnya.

Seokjin sadar bahwa apa yang dikatakan pada Namjoon untuk menghiburnya tidak sepenuhnya salah. Tentunya, tidak sepenuhnya benar juga. Ia tidak yakin akan jawabannya karena seberapa lamanya ia mengenal Yoongi, atau Namjoon, atau yang lainnya, bukan berarti ia akan mengerti mereka seutuh-utuhnya. Ia bukanlah pembaca pikiran. Ketidakpastiannya terhadap masa yang akan datang memang menakutkan, seperti yang dirasakan Namjoon sebelumnya, sehingga yang dapat dilakukan Seokjin kali ini hanyalah berdoa dalam hati untuk memastikan semua akan baik-baik saja.

Tetapi, sepertinya doanya belum tentu langsung terkabulkan.

---

"Cheers~!"

Suara gelas-gelas berisi jus apel saling bersentuhan diikuti dengan tawa menggelegar. Melihat momen ini, Seokjin jadi teringat akan kenangan yang tak lama telah lewat. Sama seperti saat itu, ia, Hoseok, Jimin, Taehyung, dan Jungkook memutuskan untuk bersulang duluan sambil menunggu kedatangan dua orang teman mereka. Ya, kali ini, tak hanya Namjoon yang ditunggu oleh mereka tetapi Yoongi pun juga.

Sebenarnya acara ini memang tak semewah perayaan saat itu, karena saat ini mereka berkumpul untuk melakukan kegiatan yang sudah menjadi ritual mereka setiap malam minggu, yakni menonton film bersama atau yang Seokjin sebut movie night, aktivitas yang dulu hanya dilakukan oleh tiga orang saja—Seokjin, Namjoon, dan Yoongi—sebelum akhirnya ditularkan kepada empat orang lainnya. Namun, tak hanya menonton, tetapi diikuti dengan melakukan barbeque bersama, dan biasanya kalau sempat—menginap bersama. Kali ini, mereka melakukannya di apartemen Namjoon dan Yoongi, tetapi malah keduanya belum tiba. Untungnya, Seokjin memiliki kunci cadangan, kunci yang dibuat khusus untuk dirinya atas pemberian Namjoon dan Yoongi kalau misalkan terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Lagipula, mereka sudah terbiasa dengan Seokjin menyelinap masuk ke apartemen mereka.

Apartemen yang semulanya sepi kemudian menjadi ramai dengan kehadiran mereka berlima, mengingatkan Seokjin untuk memeriksa jam di dinding. Kira-kira lima menit lagi, Namjoon akan tiba di apartemen setelah pulang dari kerja sambilannya sebagai penerjemah. Kalau Yoongi... sebenarnya Seokjin belum bisa menebak, karena jam kerjanya terkadang berubah-ubah, dan hanya Namjoon yang tahu. Walaupun begitu, Seokjin salut akan keduanya yang mau bekerja di saat sibuknya perkuliahan.

With Golden StringOnde histórias criam vida. Descubra agora