"Aku lupa, aku harus menelepon ibuku. Aku keluar sebentar," katanya sebelum beranjak pergi dari kursinya, bahkan sebelum Yoongi berkomentar apa-apa.

Yoongi terheran dengan tingkah laku kedua temannya yang beberapa menit lalu bersikap biasa saja kemudian berubah di menit selanjutnya. Yoongi merasa tidak masalah karena Seokjin memang sudah terbiasa mengurus Yoongi dan Namjoon ketika mereka berdua berada dalam masalah, tapi kali ini tidak.

Ia merasa sedikit sedih. Tiba-tiba ia merasa bahwa ada yang disembunyikan dan tidak diceritakan oleh Seokjin dan Namjoon, yang tidak diceritakan pada Yoongi. Namun, apa dayanya? Itu adalah urusan mereka, dan kalau Namjoon tidak ingin menceritakan pada Yoongi, seharusnya Yoongi merasa tidak apa-apa. Toh, ia tidak memaksa.

Kembali fokus pada makanannya, Yoongi merasakan tatapan dari orang di sebelahnya. Ketika ia menoleh, ia melihat Jimin hanya menatapinya sembari bermain dengan sumpit di mangkoknya.

"Ada apa?" tanya Yoongi.

"Yoongi-hyung," kata Jimin dengan pelan, seakan-akan ia sedang berbisik. Dari suaranya, Yoongi tahu bahwa Jimin mempertanyakan apa yang sedang terjadi. Namun, perkataan Jimin selanjutnya tidak seperti yang ditebak Yoongi.

"Yoongi-hyung, sebenarnya kamu..."

Yoongi menaikkan alis matanya ketika setelah ditunggu-tunggunya, kalimat berikutnya dari Jimin tak tersampaikan. Masih tak berkata apa-apa, Yoong bertanya, "Aku kenapa?"

Bukannya meneruskan perkataannya, Jimin hanya menggelengkan kepalanya cepat-cepat lalu tersenyum.

"Tidak apa-apa, Hyung...," katanya kemudian lalu kembali memfokuskan perhatiannya pada mangkuk nasi dan lauk di hadapannya.

Ada apa dengan teman-temannya hari ini, Yoongi sejujurnya juga tidak tahu. Walaupun ia tahu sebenarnya kejutan ini bukanlah sesuatu yang harus dirayakan—besar-besaran malah, tetapi melihat perubahan suasana sebelumnya dan sekarang membuatnya semakin bertanya-tanya, dan Yoongi merasa tidak ada yang lebih aneh dari hari ini.

Sambil mengunyah pelan makanannya, ia hanya menatap buket bunga yang ada di sebelahnya.

---

"Namjoon-ah," panggil Seokjin pelan ketika ia menemukan Namjoon di luar restoran yang sedang bersender di balkon, menatap danau di sebelah restoran di tengah-tengah dinginnya udara malam dan suara jangkrik yang terus berbunyi tanpa henti. Seokjin mendekatinya lalu ikut bersender di sebelahnya, menatap entah apapun itu yang ditatap oleh Namjoon. Sebenarnya, ia tidak berkata apa-apa, hanya menemani Namjoon dengan kehadirannya. Kemudian, ia melihat Namjoon membuka mulutnya.

"Untungnya tadi kau menghentikanku, Hyung," kata Namjoon dengan suara yang pelan, nyaris tak terdengar oleh Soekjin, "aku tidak tahu bakal jadi apa tadi suasana di ruangan itu, dengan semua mata memandang, ketika aku hampir saja..."

Namjoon menghela napas panjang dan menenggelamkan kepalanya di balik kedua tangannya yang disilangkan. Seokjin dapat melihat teman di sebelahnya itu sedang frustasi akan banyak hal. Beberapa di antaranya mungkin saja karena ia nyaris berbuat hal yang tidak direncanakannya, atau mungkin karena ia tidak mengatakan perasaan pada orang yang dicintainya, atau karena ia mencintai sahabatnya sendiri. Daftarnya mungkin saja masih lebih banyak dari yang diduga Seokjin, tetapi ia mengerti, setiap orang memiliki masalahnya sendiri. Dan Namjoon adalah orang yang memerlukan dukungan saat ini.

"Sebenarnya apa yang kau takutkan, Namjoon-ah?" tanya Seokjin.

Tanpa mengangkat kepalanya, Namjoon langsung menjawab, "Semuanya? Aku tahu Yoongi-hyung... ia berpikiran terbuka. Namun, mudah untuk mengatakan dibanding mengalaminya. Bagaimana kalau ia memandangku berbeda dari sebelumnya? Bagaimana kalau ia tidak lagi menganggapku sebagai sahabatnya? Bagaimana kalau ia..."

With Golden StringDonde viven las historias. Descúbrelo ahora