Best Friend (?)

30.7K 872 0
                                    

"He's my best friend. We are best friend," she said. Really?

Waktu menunjukan pukul 22.45 saat Ali baru saja menyelesaikan edegannya bersama Kevin di kebun dekat lokasi shootingnya. Ali berjalan menuju ruang make up dimana biasanya pemain berkumpul disana. Ia mencari sesosok wanita, namun tidak ditemukan keberadaannya disana. Setahu dia, wanita itu belum pulang. Wanita itu tidak akan pulang sebelum ia selesai pengambilan edegan. Ia menghampiri temannya yang ada disana.

"Kak, Prilly dimana?" tanya Ali pada Mila.

"Di atas dia sama Ricu,"

Mendengar jawaban Mila, Ali langsung beranjak dari tempat itu dan menuju kelantai atas. Tempat yang biasa dipakai pemain untuk tidur. Mereka disediakan ruangan khusus dirumah ini untuk menginap jika memang sedang ada banyak scene yang harus diambil. Ali melangkahkan kakinya hampir mencapai gagang pintu kamar, namun geraknya terhenti saat ia mendengar seseorang berbicara dengan suara yang lumayan besar.

"Dia masih suka nanyain lo juga kok," terdengar suara Cio dibalik pintu.

"Beneran kak?" tanya wanita itu.

Masih memikirkan cowok itu rupanya, pikir Ali dalam hati. Ia membuka pintu kamar, semua mata yang ada didalam langsung mengarah kepadanya.

"Udah selesai, Li?" tanya Prilly. Ali hanya mengangguk.

"Kenape lo lemes banget? Keseleo lagi?" kali ini pertanyaan Ricu membuat semua yang ad dikamar tertawa, kecuali Ali.

"Enggak," kata Ali lemas. Ia beralih memandang Prilly. "Lo gak balik?" tanyanya ketus.

"Tadi katanya gue disuruh nunggu lo selesai take. Gimana sih?!"

"Enggak kalo lo mau balik, balik aja," Ali tidak sadar suaranya membuat Ricu, Prilly, Cio dan Michele menatapnya aneh.

"Ih aneh banget sih," kata Prilly. Cio dan Michele hanya saling menatap.

"Ali lagi menstruasi Ali," ledek Ricu lagi.

"Yaudah deh gue balik. Kak lo gak pulang?" tanya Prilly pada Michele sambil mengemasi beberapa barangnya dan dimasukkam ke tas.

"Enggak. Gue masih ada scene. Lo balik aja istirahat," ujarnya. Lalu menatap Cio. "Baby nungguin, kan?" Disusul anggukan dari Cio.

"Ih enek banget gue. Sok imut lo baby-baby-an," ujar Ricu.

"Balik duluan ya," ujar Prilly pada semua yang ada dikamar. Setelah berpamitan Prilly turun ke bawah. Ali hanya diam. Lalu entah apa yang dipikirkannya, ia berlari kecil menyusul Prilly.

"Itu anak kenapa sih?" tanya Ricu lagi. Michele dan Cio hanya mengangkat bahunya tidak mengerti.

----

"Prill?" panggil Ali ketika melihat Prilly hampir sampai di mobilnya. Prilly menoleh dan menghentikan langkahnya. "Gue mau ngomong bentar," ajaknya menarik Prilly ketempat yang tidak terlalu ramai.

"Kenapa?" Prilly masih tidak menyadari bahwa Ali sedang marah padanya.

"Lo masih mikiran orang itu?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Siapa?"

"Mantan lo lah. Tadi gue denger lo masih nanyain dia sama Cio,"

"Apaan? Gue gak nanyain dia kok. Cio cuma cerita kemaren ketemu sama dia. Gue gak nanyain. Ngapain gue nanyain dia," Prilly terdengar kesal.

"Masa?"

"Jadi lo marah-marah tadi diatas gara-gara ini? Yaelah makanya nanya dulu. Jangan berasumsi sendiri," jelasnya. Prilly membuang wajahnya dari Ali. Ali yang suka melihat Prilly ngambek mulai tidak bisa menahan senyumnya.

"Udah belom? Gue mau balik nih," tanya Prilly lagi masih tidak menatap Ali.

"Kok jadi lo yang marah sih?" tanya Ali menahan tawanya.

Prilly berbalik menatap Ali. "Ya lagian lo marah-marah sama gue gara-gara beginian. Nuduh gue masih nanya-nanya tentang dia sama Cio. Siapa yang gak kesel coba?"

"Yaudah sih maaf," kata Ali mencolek dagu Prilly namun tangannya langsung ditepis oleh Prilly. "Ih ngambek. Yaudah sana balik,"

Tanpa menghiraukan Ali, Prilly bangun dari duduknya hendak berjalan menuju parkiran. Ali mengikuti Prilly berjalan, lalu tangan kanannya merangkul Prilly sambil mencubit pipi kanannya. Prilly yang sudah biasa diperlakukan seperti itu oleh Ali hanya diam saja. Pasrah.

----------

"Lo udah baikan, Prill, sama dia?" terdengar suara Ricu dikamar. Saat ini mereka sedang break karena baru pengambilan edegan bersama.

Prilly menatap Ricu tajam. "Emang siapa yang berantem kak?"

"Itu kemaren malam. Pas lo balik dia ngejar lo. Sok-sok kayak film india,"

Prilly tertawa. "Aku sih gak berantem sama dia. Tapi dia emang sempet marah sama aku,"

"Kenapa?"

"Itu dia denger kak Cio ngomongin si doi. Jadi dia udah didepan pintu pas kak Cio lagi ngomongin si Halik," jelasnya.

"Cemburu?"

"Gak ngerti deh. Tapi gak ada alasan buat cemburu sih,"

"Jujur deh, kalian pacaran? Gapapa jujur sama aku," tanya Ricu serius.

"Enggak, kak. Aku sama dia itu sahabatan. Pure sahabatan. Dia sendiri kok yang bilang,"

"Beneran? Tapi sikap kalian berdua tuh bikin orang bertanya-tanya apa beneran kalian cuma sahabatan,"

"Beneran kok,"

Ricu hanya mengangkat alisnya, tidak yakin dengan ucapan wanita yang sudah dianggapnya sebagai adiknya itu. Tanpa mereka berdua sadari ada seseorang diluar kamar yang sedang mendengarkan pembicaraan mereka. Ali.
Sahabatan. Pure sahabatan. Ali menarik nafas dalam, mungkin awalnya memang kesalahannya yang selalu berkelak bahwa kedekatan mereka hanya sebatas sahabat. Namun lama-kelamaan kenapa perasaannya yang lain mulai merobohkan keyakinannya bahwa ia dan Prilly hanya sekedar sahabatan. Hatinya cukup sakit mendengar Prilly mengucapkan kalimat itu. Tapi ini bukan sepenuhnya salah Prilly. Mungkin Prilly memang kurang peka, tapi ia sendiri juga kurang tegas mengungkapkan perasaannya. Apa ia bisa bertahan dengan predikat sahabat. Ya hanya sahabat. Atau ia harus bertindak lebih tegas, tapi bagaimana? Pikirannya kacau. Ia tidak ingin menghancurkan kedekatannya dengan Prilly. Bagaimana setelah ia mengungkapkan perasaannya, kedekatan mereka menjadi merenggang? Ali mengacak-acak rambutnya. Perasaan ini menghancurkan segalanya.

Sweetest DrugWhere stories live. Discover now