Chapter 11

3.4K 686 53
                                    

🌸🌸🌸

Maret 2022

Hari itu Wendy terburu-buru ke ruang UKM Seni Musik, mau ngambil buku yang ketinggalan. Udah yakin kalau disana pasti sepi karena sekarang jam-jam mahasiswa lagi ada kelas. Untungnya, Wendy sebelumnya udah mintain kunci ruangan ke Taeil selaku kuncen UKM Seni Musik.

Tapi saat Wendy sampai sana, posisi pintu yang terbuka bikin dia bingung sendiri siapa yang ada di dalam.

Saat masuk, Wendy malah menemukan Jae yang lagi duduk sambil mainin gitarnya. Mukanya lusuh kaya kehilangan semangat hidup.

Mau nyapa tapi inget ini Park Jaehyung, si cowok menyebalkan yang selalu bikin Wendy darah tinggi. Jadi Wendy memilih diam dan langsung nyari keberadaan buku nya.

"Lo ngapain disini?"

Ternyata Jae duluan yang nyapa. Tumben. Dan nggak biasanya cowok itu nggak ngegas.

"Mau ngambil buku ini," Wendy nunjukkin buku dengan tulisan 'ILMU GIZI' di tangannya. "Lo sendiri ngapain? Bukannya udah nggak ada urusan disini?" Wendy balik nanya.

Kalau dipikir-pikir sih Jae udah nggak ada urusan di kampus ini mengingat cowok di depannya udah lulus berbulan-bulan yang lalu. Makanya Wendy agak heran dengan kedatangan Jae pagi ini.

"Pengangguran ya lo?"

Nggak ada jawaban dari Jae. Jadi Wendy berbalik, mau pergi karena niatnya cuma mau ngambil buku.

Iya, rencananya gitu. Tapi kalimat Jae selanjutnya bikin Wendy bertahan di dalam ruangan itu lebih lama. Bersama Jae.

"Apa menurut lo itu lucu?"

"Hah?"

"Pengangguran. Gue emang pengangguran, apa itu lucu?" kata Jae natap Wendy, putus asa.

Nggak tau kenapa Wendy jadi merasa iba. Nggak ada binar semangat yang Wendy temukan di mata Jae, kaya seluruh beban hidup berada di pundak cowok itu.

"Maaf, gue nggak bermaksud -"

"Gue ngerti. Lo bisa pergi."

Jae kembali memainkan gitarnya. Nada yang keluar nggak beraturan. Anehnya, Wendy merasa suara dari petikan gitar yang dimainkan Jae terselip kefrustasian.

Bukannya pergi, Wendy malah jalan mendekat ke arah Jae, duduk di sampingnya.

Jangan tanya kenapa Wendy ngelakuin hal itu. Wendy juga nggak ngerti. Wendy cuma ngerasa kalau Jae butuh dia. Konyol memang. Sejak kapan cowok yang biasanya ngajak ribut Wendy malah membutuhkannya?

"Lo ada masalah ya? Lo bisa kok cerita ke gue,"

Tawaran Wendy pagi itu ngebuat Jae menatapnya. Ada senyum di wajah Wendy yang belum pernah Jae liat semenjak dia kenal Wendy. Senyuman yang belum pernah cewek itu tunjukkan untuk Jae.

Dan Jae baru sadar kalau senyum Wendy manis, senyum Wendy cantik, dan senyuman Wendy indah.

Dan pagi itu juga, Jae semudah itu mengutarakan semuanya. Semua beban yang ada di pundaknya dan semua kalut yang dirasanya di depan cewek yang nggak pernah Jae duga sebelumnya. Di depan cewek yang selalu Jae anggap musuhnya.

Son Wendy.

"Gue suka musik. Gue tergila-gila sama musik. Impian gue jadi Musisi. Gue pengen karya gue bisa dinikmati banyak orang," cerita Jae. Ngomongin musik aja bisa ngebuat senyum lebar Jae muncul.

"Awalnya gue pengen ngambil jurusan musik sebelum ditentang sama Papa. Beliau mau gue ambil ekonomi. Padahal passion gue bukan disitu," lanjut Jae, mengingat kembali memori 4 tahun lalu dimana dia dipaksa ngambil jurusan yang nggak diminatinya.

Saat itu Jae nggak punya pilihan selain menuruti semua ucapan Ayahnya. Mengubur keinginannya untuk lebih dalam mempelajari musik -dunianya.

"Gue nurut. Empat tahun berjalan lancar karena gue masih bisa menyalurkan apa yang gue suka. Disini. Di UKM ini. Tapi semenjak beberapa bulan yang lalu, keadaan berubah. Gue ngerasa nggak punya tujuan hidup, gue ngerasa payah, gue ngerasa nggak berguna."

Dari samping, Wendy bisa ngeliat senyum Jae. Bukan senyum lebar yang biasa cowok itu tebar, tapi senyum pahit yang cukup buat Wendy paham gimana perasaan Jae.

"Sejak gue lulus, Papa selalu maksa gue nyari kerja yang sesuai sama jurusan gue. Beliau ngelarang gue nge-band karena berpikir kalo itu cuma buang-buang waktu. Tapi Papa gue nggak paham kalau itu dunia gue. Musik ngebuat gue bahagia. Dan sekarang gue capek, Wen. Capek denger Papa yang terus bandingin gue sama anak temennya, capek sama Papa yang terlalu nuntut gue ngelakuin hal yang nggak gue suka. Rasanya usaha gue nggak pernah terliat di mata orang lain. Gue capek sama semuanya," Jae menunduk. Nyembunyiin kesedihannya dari Wendy yang rasanya percuma.

"Gue pernah denger seseorang bilang gini, do whatever you wanna do, because what you do is gonna be your happiness."

Kepala Jae terangkat, jadi menatap Wendy yang lagi-lagi senyum ke arahnya. Seseorang itu, Jae ingat betul siapa. Itu Jae sendiri. Dan sedikit kaget karena Wendy masih ingat kalimat itu saat dia sendiri bahkan udah lupa.

"Jadi, gue juga pengen lo kaya gitu. Gue pengen lo melakukan hal yang memang lo suka. Tanpa paksaan, tanpa tuntutan, dan tanpa tekanan dari orang lain. Gak papa kalo lo capek. Lo bisa istirahat. Wajar, karena hidup itu melelahkan. Dan hidup juga bukan tentang kebahagiaan melulu."

"Tapi Papa -"

"Bicarain baik-baik sama Papa lo. Gue yakin Papa lo bakal ngerti. Gimanapun lo anaknya, Papa lo pasti pengen lo bahagia."

"Masa depan cerah lagi nunggu lo, Jae. Jadi, jangan nyerah. Lo cuma capek doang kan? Kaya yang gue bilang tadi, lo bisa istirahat dulu. Dan setelah tenaga lo pulih, lo bisa lari lagi. Lari buat ngejar impian lo yang sebenarnya, jadi musisi hebat yang karyanya bisa dinikmati banyak orang."

Mereka berdua saling tatap-tatapan cukup lama. Bagi keduanya, ini kali pertama mereka melakukan pembicaraan tanpa adanya teriakan, hinaan, umpatan. Bebas dari kata 'berantem' yang biasanya selalu mengiringi tiap Wendy dan Jae bertemu.

"Lo percaya kalau gue bisa jadi musisi hebat?" tanya Jae yang langsung dapet anggukan mantap dari Wendy.

"Kenapa?"

"Karena itu lo. Karena itu Park Jaehyung, dan gue percaya. Jadi, jangan nyerah. Gue tunggu karya-karya lo, Jae."

Dan hari itu, pagi itu, ruangan itu, jadi saksi awal dari semuanya.

Awal dari berubahnya perasaan benci di antara keduanya.


1 Mei 2020

10 Years Later ✔️Where stories live. Discover now