16. Perang Dingin🍃

915 178 19
                                    

Kedua remaja itu seperti sedang perang dingin. Tak ada sepatah kata yang terucap, ego dan gengsi seakan tertawa melihat mereka berdua.

Jeno yang sudah bosan belajar lebih memilih untuk menumpukan kepalanya di atas meja, semalam ia tidak bisa tidur nyenyak karena perutnya sakit sekali. Lelaki itu memejamkan mata sembari mengusap pelan perutnya yang masih terasa tidak enak.

Sementara itu, Siyeon sibuk dengan ponselnya. Ia sudah tidak peduli lagi dengan teman sebangkunya itu, mau kayang atau jungkir balik juga ia tetap tidak akan peduli.

"Heh, bagi duit dong." Haknyeon tiba-tiba datang dan merusak kedamaian pagi ini.

"Nggak punya," balas Siyeon ketus.

Felix menyenggol lengan Haknyeon, "Mainan lo kenapa tuh? Lemes banget kayaknya."

"WOI!" Jeno tersentak ketika Hwall memukul punggungnya dengan keras.

"Enak banget pagi-pagi udah tidur," cibir Felix.

"Gue nggak punya uang," ucap Jeno to the point.

"Alah, bohong lo. Kemarin gue liat lo di cafe," ucap Felix.

Jeno bergeming, tatapan tajamnya tak terlepas dari Trio Juleha.

"MANA UANGNYA?!" bentak Haknyeon.

Jeno mengeluarkan uang logam dari saku celananya dan memberikannya pada Haknyeon. "Gue cuma punya itu."

Haknyeon terlihat sangat marah, ia menarik kerah seragam Jeno sampai lelaki itu berdiri. Tak sampai disana, ia mendorong tubuh Jeno hingga menubruk tembok dan tak main-main mencekik leher lelaki itu.



"MATI AJA LO, LEE JENO BANGSAT!!"



Jeno hendak bersuara, namun untuk bernapas saja susah. Sekuat tenaga ia mencoba melepas tangan Haknyeon, tapi rasanya susah sekali.

Tak ada yang membantu Jeno, semuanya hanya menjadi penonton, termasuk Siyeon.



"JU HAKNYEON!!"



Haknyeon segera menghempaskan tubuh Jeno ke lantai ketika suara Pak Minho memasuki rungunya.

"Kabur, ayo kabur!" seru Haknyeon kemudian cepat-cepat keluar dari kelas diikuti Felix dan Hwall.

"BEDEBAH!!" teriak Pak Minho. Pria itu lantas menghampiri Jeno yang masih terbatuk.

"Nak, kamu nggak apa-apa?" tanya Pak Minho.

Jeno mengangkat jempolnya padahal dadanya masih sesak luar biasa.

Pak Minho membantu Jeno untuk bangkit dan menyuruh lelaki itu duduk kembali di bangkunya.



Siyeon melihat Jeno yang memejamkan matanya kuat-kuat sembari mengatur napasnya. Pokoknya ia tidak boleh merasa iba dengan lelaki itu.

Siyeon lebih memilih untuk kembali memainkan ponselnya agar fokusnya teralihkan.

"Sakit.."

Siyeon kembali menoleh, ia tidak salah dengar kan? Lee Jeno yang menurutnya merupakan bagian dari keluarga dedemit itu bisa merintih seperti itu?




...





"Kak Jeno~" Lami dengan gembiranya menghampiri Jeno yang baru saja datang.

Jeno hanya tersenyum sekilas kemudian melanjutkan langkahnya.

"Kak, bantuin buat pr kesenian dong!"

"Nanti ya, Kakak mau istirahat dulu," ucap Jeno karena ia memang merasa lelah dan sakit.

"Kakak kenapa?" tanya Lami yang membuntuti Jeno dari belakang.

"Nggak kenapa-napa."

Lami mengikuti langkah kakaknya itu sampai di kamar. Ia melihat sang kakak yang menaruh tas di meja belajar dan langsung menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur.

Tak hanya itu, Lami juga melihat dahi kakaknya berkerut, seperti sedang menahan sakit.

"Mana yang sakit, Kak?" tanya Lami.

"Semuanya," balas Jeno dengan mata terpejam.

Lami mengambil posisi duduk di sebelah Jeno kemudian memijat kaki kakaknya.

"Kak, besok ke sekolahnya bareng sama aku aja ya? Supaya kakak nggak capek jalan kaki."

Jeno menatap adiknya dengan teduh, "Nggak perlu."

"Tapi kakㅡ"

"Jangan nyari masalah sama Bunda."

Lami menghela napas kemudian lanjut memijat kaki Jeno. "Kakak pasti belum makan, aku ambilin makanan ya?"

"Nggak usah, nantiㅡ"

"Ketauan Bunda?" potong Lami.

"Iya," pelan Jeno.

"Apa sih yang Kakak takutin dari Bunda?" Lami terlihat kesal. Gadis itu bangkit dari tempat duduknya dan lantas pergi.

Jeno tak mengejar adiknya, lebih baik ia istirahat, nanti juga bocah itu datang sendiri kepadanya.




Suara deruan langkah Lami berhasil menarik perhatian Bunda yang sedang bersantai di taman belakang dengan segelas jus jeruk.

"Bunda!" seru Lami.

"Kenapa sayang?"

"Kak Jeno boleh makan?" tanya Lami.

Wajah Bunda yang tadinya cerah langsung berubah seratus delapan puluh derajat ketika mendengar nama Jeno. "Pinter banget dia nyuruh adiknya buat ngomong sama Bunda."

Lami menggeleng, "Kak Jeno nggak ada nyuruh apa-apa kok."

Bunda bangkit dari tempat duduknya, "Mana dia? Cucian udah numpuk di kamar mandi."

"Bunda.. biar Lami aja yang nyuci ya? Kasian Kak Jeno keliatannya capek banget."

"Alah, kakakmu cuma akting. Memang dasarnya dia males."

Lami menghela napas, "Tapi Kak Jeno boleh makan ya, Bunda?"

"Nggak. Kemarin Bunda udah ngasi makanan gratis ke dia."

"Kenapa sih? Kak Jeno itu anak Bunda juga kan?"

Bunda menghela napas, "Lami, kita udah debatin ini ratusan kali."

"Aku cuma mau Bunda juga sayang sama Kak Jeno," ucap Lami. "Setidaknya kasi Kak Jeno jatah makan yang sama kayak aku."

"Jangan mulai deh, mending kamu belajar aja sana."

"Yaudah kalo Bunda nggak mau. Aku nggak bisa diem lagi. Aku mau telepon Ayah."

Bunda menahan tangan Lami yang hendak pergi. "Iya iya, mulai sekarang Jeno boleh makan gratis di rumah ini."

Lami tersenyum senang, "BENERAN, BUNDA?!"

Bunda mengangguk malas.

"YEY! MAKASI BUNDA!!"

🍃🍃🍃













Tbc...

Terima kasih sudah membaca💙

DandelionWhere stories live. Discover now