15. Iblis Kaya🍃

876 192 18
                                    

Jeno menatap seseorang yang baru saja masuk ke dalam kelas. Itu adalah Siyeon, penampilannya jauh lebih baik daripada kemarin.

Lelaki itu memperhatikan Siyeon yang meyumpal telinganya menggunakan earphone, tumben sekali.

Jeno pun tidak mempedulikannya, mungkin gadis itu tidak ingin diganggu saat ini. Ia lebih memilih membaca buku karena hari ini ada ulangan Biologi.

Jeno melirik Siyeon yang melepas earphone-nya lalu mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas. Isinya masih tetap sama yaitu roti bakar.

Siyeon melahap roti bakarnya sendirian, tanpa menawarkan pada Jeno.

Persetan, pokoknya gue harus bersikap bodo amat, begitu pikir Siyeon.

Sementara itu, Jeno malah tidak fokus belajar, tiba-tiba saja lelaki itu tergiur dengan aroma roti bakar yang dibawa Siyeon.



Kriuk..




Jeno memegangi perutnya yang tiba-tiba berbunyi dan ia seratus persen yakin bahwa Siyeon mendengarnya.

"Ah, sial," gumam Jeno sembari memalingkan wajahnya.

Siyeon sebenarnya ingin tertawa, tapi ia urungkan mengingat ia masih kesal dengan lelaki itu. Ia juga ingin menawarkan roti bakarnya pada Jeno, tapi ia berpikir bahwa lelaki itu tidak suka roti bakar.

Akhirnya, Siyeon pun menutup kotak bekalnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

"Hari ini ada ulangan Biologi," ucap Jeno.

Siyeon hanya diam, sibuk menata bukunya di atas meja.

"Lo budek?" tanya Jeno.

Siyeon menoleh, "Lo ngomong sama gue?"

"Nggak. Sama setan!"

"Oh," balas Siyeon singkat.

Jeno mendengus sebal kemudian lebih memilih keluar kelas daripada emosi menghadapi teman sebangkunya itu.

Baru saja Jeno keluar kelas, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk punggungnya.




"Hai, Kak," sapa Lami.

"Kamu ngapain disini?" tanya Jeno setengah berbisik.

"Bawain Kakak makanan," balas Lami sembari memberikan kantong plastik berisi makanan ringan pada Jeno.

"Ya ampun, sebenarnya nggak usah repot-repot. Sana balik ke kelas sebelum ada yang liat," suruh Jeno.

Lami mengangguk kemudian berlari menjauh.

Jeno membuka plastik yang berisi banyak makanan ringan itu. Ia tersenyum jahil kemudian berjalan dengan angkuh masuk ke dalam kelas.

Dengan sengaja ia menaruh plastik itu di atas meja hingga fokus Siyeon teralihkan padanya.

Siyeon hanya diam ketika Jeno membuka salah satu bungkus makanan ringan itu dan memakannya dengan heboh.




Kriuk.. kriuk.. kriuk..




Suara berisik akibat makanan ringan yang sedang dikunyah Jeno itu lantas membuat Siyeon kesal setengah mati.

"Biasain aja kek makanannya," cibir Siyeon.

"Bilang aja pingin," ucap Jeno.

"Gue punya satu kardus yang kayak gitu di rumah," balas Siyeon. "Kalo mau, nanti pas lo nganter koran gue kasi semuanya."

"Gue nggak butuh sumbangan dari lo," ketus Jeno.

"Udah miskin, belagu lagi," celetuk Siyeon.

Jeno terdiam, ia menaruh makanannya karena tiba-tiba saja selera makannya hilang. "Gue kira lo beda, ternyata lo juga bagian dari iblis-iblis kaya itu."

"Lo sendiri yang buat gue jadi bagian dari mereka. Apa lo nggak sadar? Bahkan lo lebih buruk daripada mereka. Nggak usah sok suci deh."

Jeno menatap nanar Siyeon, "Lo benci gue kan? Gue lebih benci lagi sama lo."

Kali ini Jeno benar-benar pergi, bahkan sampai meninggalkan jam pelajaran pertama.





...






Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam ketika Jeno sampai di rumah. Ia baru saja pulang dari kerja part time-nya di sebuah cafe. Lelaki itu terkejut ketika melihat sang bunda menangis sendirian di ruang tamu.

"Bunda?"

Wanita paruh baya itu segera menghapus air matanya dan memalingkan wajah. "Darimana kamu? Rumah belum bersih malah keluyuran sampe malem."

"Maaf, Bunda. Jeno baru pulang kerja. Ini, bayar sewa kamar untuk bulan ini." Jeno meletakkan amplop cokelat di atas meja.

Bunda mengambil amplop itu dan menghitung uang yang ada di dalamnya.

"Yaudah, sana lanjut bersih-bersih."

"Hng.. bersih-bersihnya boleh besok pagi aja nggak, Bun? Jeno capek."

"Udah berani ngelawan kamu?"

Kepala Jeno tertunduk lesu, "Enggak, Bunda. Maaf."

"Sana cepet nyapu sama ngepel."

Jeno mengangguk dan langsung mengambil sapu. Rasanya lelah sekali, tapi ia tetap memaksakan diri karena Bunda masih mengawasinya.

Jeno tiba-tiba meringis sembari memegangi perutnya. Sial, sepertinya asam lambungnya naik.

Jeno memang sudah terbiasa dengan rasa sakit itu. Ia terlalu sibuk bekerja sampai lupa makan, terkadang ia juga tidak makan karena tidak punya uang untuk membeli makanan.

Lelaki itu mendudukkan dirinya di lantai, berharap rasa sakit itu segera hilang.

"Kenapa berhenti?" tanya Bunda.

"Perut Jeno sakit.."

"Alah, nggak usah banyak alasan kamu!"

Jeno menggeleng pelan, "Beneran sakit, Bunda."

Bunda bangkit dari tempat duduknya kemudian menghampiri Jeno, wajah putranya itu bahkan sampai memerah karena menahan rasa sakit. "Udah makan?"

Lagi-lagi Jeno menggelengkan kepala.

"Sana makan, habis itu istirahat. Nanti kalo kamu sakit, nggak ada yang bersihin rumah."

"T-tapi, Jeno nggak punya uang lagi."

"Untuk hari ini makanannya gratis."

Jeno tersenyum lemah, "Makasi, Bunda."

🍃🍃🍃












Tbc...

Terima kasih sudah membaca💙

DandelionOù les histoires vivent. Découvrez maintenant