Primus

6.5K 405 192
                                    


}÷{

Langit petang yang semula menurunkan rintik itu perlahan menjadi deras seiring diambil alihnya kekuasaan cakrawala oleh malam. Satu persatu pula payung hitam mulai di gunakan untuk melindungi diri dari serbuan air hujan, menyamarkan ringisan sakit yang memang sengaja di rasakan bersama.

Satu-satunya yang tak peduli tubuh basah kuyup bertahan dengan lutut yang bersimpuh, kepalanya merunduk dalam, sedang kedua tangan meremat tanah merah yang pula turut basah.

Deru hujan makin menjadi, meminta para manusia dibawahnya untuk segera berlindung. Bahkan kilatan nyalang pun turut memperingatkan.

Sebuah tangan singgah di pundaknya yang tak dapat di tegakkan, elusan kecil sebagai penenang ia rasakan.

"Pulang, biarin dia istirahat."

Satu persatu orang mulai meninggalkan tempat tersebut meski dengan berat hati, namun dengan bersikukuh bahwa yang pergi dapat kembali tidak akan dapat merubah apapun.

"Beri saya waktu, sebentar saja," sahutannya tenggelam di bawah riak hujan. Namun helaan napas kecil dari seseorang di belakangnya menjadi pertanda bahwa ia tak perlu mengulang ucapan yang sama.

Maka begitulah selanjutnya, ia benar-benar sendirian di tengah kesunyian yang menyakitkan tersebut. Di sekitarnya, banyak pula yang kesepian. Ditinggalkan kasih mereka dalam waktu yang lama, hingga terbiasa akan sepi yang mencekik hingga menyisakan tulang belulang.

Serbuan ingatan kemarin hari masih terasa baru, namun kenapa dalam waktu satu hari semuanya berubah. Senyuman itu hilang, tawa itu melayang, dan cinta itu berubah malang.

Menyalahkan diri sendiri adalah pilihan terakhir, sebab andai ia tahu bahwa semuanya akan berakhir, maka ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan terakhir yang ia punya. Atau setidaknya, menunda waktu agar tak jadi pergi.

"Kamu suka begini?"

Pertanyaan yang tak akan terjawab oleh orang yang dituju, ia tahu betul itu. Namun tetap saja, ia perlu tahu agar dapat hidup dengan baik.

"Eung.., saya?"

"AAAAAAA!!!"

"AAAAAAA!!!"

}÷{

Seperti biasa, tak peduli seburuk apapun cuaca kepalanya akan terus tertunduk sembari menatap penuh pada benda pipih yang berada di kedua tangan. Sepenuhnya tubuh telah basah kuyup, bahkan jaket yang digunakan untuk menutup kepala tak lagi dapat melindungi.

Namun tetap saja, bibirnya masih bisa terkekeh geli setelah melihat pesan lucu dari temannya melalui ponsel tersebut padahal sudah membiru sebab kedinginan.

"Aaahh, apaan sih kok kodok terbang."

Tawanya kembali tergelak, bersamaan dengan seruan keras petir yang menghiasi hujan malam itu. Namun berjalan sendirian di jalan memanjang daerah perbukitan itu tak membuatnya takut, ia sudah terbiasa.

Tiiinnn

Seruan nyaring klakson mobil menyita perhatiannya, matanya memicing kala sinar lampu jingga yang berasal dari mobil-mobil yang melewatinya membuat alisnya mengerti tipis. Meski tak begitu kentara karena kini kepalanya ditutupi topi jaket hingga hanya wajahnya saja yang nampak.

Begitu banyaknya mobil-mobil hitam yang terlihat mewah berlalu lalang membuat langkahnya terhenti, kepalanya mengikuti kemana perginya benda-benda yang dinaiki para manusia tersebut.

"Oh, ada yang meninggal lagi." Ia mengangguki peryataannya, lantas memiringkan kepala agar dapat melihat ke arah bagian tanah lapang yang terhampar banyak kuburan.

[23]Sagum ( 커튼) | K. Suho x S. Changbin [✓]Where stories live. Discover now