3. tamu dihati

696 162 45
                                    

Aku tersenyum sendiri ketika mengingat kejadian siang tadi, sudah sejak tadi sosok orang yang ku lihat di luar jendela itu tidak meninggalkan pikiranku sama sekali, sekarang ia justru singgah dan bertamu di ruang hatiku. Aku belum tau pasti ruang mana yang hampiri yang pasti sekarang ia sudah sampai disana, sekedar duduk manis dan belum mempunyai tujuan tertentu.

Niat hati ingin belajar, sekedar membaca ulang pelajaran yang diterangkan guru hari ini, tapi niat tinggallah niat, sekarang aku justru sudah tiduran sambil terus tersenyum menatap langit-langit kamar, buku-buku yang telah ku ambil ku biarkan terbuka tanpa tujuan.

"Kamu kenapa?" Zea datang dengan seplastik cemilan yang baru saja dibelinya dikantin.

Jika disekolah negeri kantin akan tutup ketika siswa siswi telah meninggalkan lingkungan sekolah untuk pulang ke rumah, maka di sekolahku yang berasrama ini kantin akan buka sampai jam sepuluh malam.

Penjaga kantinnya seorang pemuda, usianya sekitar 25 tahun. Badannya tinggi besar, kulitnya sawo matang, ia ramah sekali. Jika ada lomba membuat teh tarik, maka dialah juaranya. Tidak hanya itu semua jenis minuman lainnya selalu menggugah selera jika dibuatkan olehnya. Dia sering dipanggil mas Adi, aku tidak tau siapa nama lengkapnya. Juga tidak pernah ku cari tau. Tidak penting menurutku.

Di kantin, mas Adi memperbolehkan kami untuk mengutang, dengan syarat semua hutang harus di bayarkan jika sudah mencapai 300.000. Mas Adi baik sekali. Hehe.

"Wajar nggak sih kalau aku beneran suka sama si cowok ganteng itu?" Aku bertanya sambil menoleh ke arah Zea yang beranjak naik, ikut duduk di atas kasurku.

Zea hanya diam, menyimak pertanyaanku, ia sedang sibuk membuka cemilannya.

"Ngomong-ngomong kamu udah tau siapa namanya?" Aku kembali bertanya ketika Zea tak kunjung menjawab pertanyaan pertamaku.

Zea mengangguk pelan.

"Namanya Julian Mahendra." lantas memberitahuku nama dari cowok ganteng itu.

Aku tersenyum, mengangguk.

"Kamu yakin suka sama dia?" Tanya Zea penuh selidik.

Aku masih tetap dengan senyumanku, lantas mengangguk mantap.

"Tapi kan kamu baru aja liat dia, masak kamu udah main suka aja sih. Mungkin itu perasaan kagum kamu. Bukan suka. Emangsih rasanya itu beda tipis, tapi kamu harus pandai bedainnya. Biar nggak salah langkah." Zea seolah mempertanyakan keyakinanku.

"Kamu tau istilah fall in love at first sight kan?" Aku mencoba kembali meyakinkan Zea.

Zea mengangguk, tanpa menolehkan pandangannya dari cemilannya.

"Nah, aku lagi ngerasain itu sekarang." aku tetap pada perasaan hatiku.

"Arumi, yang namanya cinta itu nggak cukup cuma sekali pandang bisa yakin gitu aja. Cinta itu hadir karena terbiasa, dia gak bisa nyelonong gitu aja. Aku sama Rendi aja butuh waktu empat bulan untuk PDKT-an, baru deh jadian. Nggak ada tuh bisa langsung yakin dalam waktu 2 menit." Zea menghentikan bicaranya untuk kembali memasukkan cemilannya kedalam mulut.

"Tapi kan kita bisa aja jatuh cinta pada pandangan pertama, berarti wajar dong kalau aku cinta sama dia, itu nggak salah sama sekali, Zea." Aku tidak mau kalah.

"Arumiiii, semua cewek liat cowok seganteng dia juga pasti bakalan bilang cinta tapi itu cuma sebentar karena itu sebenarnya bukan cinta, tapi hanya kagum, nggak lebih. Dan perasaan kamu sekarang itu sama aja kayak perasaan cewek-cewek lain, termasuk aku ketika pertama kali liat muka ganteng dia. Percaya deh sama aku!" Zea tetap pada argumennya.

Perdebatan kecilku dan Zea yang terjadi malam itu tetap tidak bisa mengusir pergi tamu yang telah memasuki hatiku. Aku sedikit berpikir tentang kebenaran yang di katakan Zea bahwa cinta akan hadir karna terbiasa.

Tapi disisi lain, aku dan hatiku telah benar-benar yakin jika aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat Julian untuk pertama kali. Julian Mahendra, si cowok ganteng yang sempat menjadi perbincangan mulut banyak orang.

●●●

Obatku telah ku minum sampai habis, tidak ada lagi yang tersisa walau satu butirpun. Mama juga tidak mengirimku obat-obatan lagi, aku telah berangsur pulih dari trauma yang mengharuskanku mengonsumsi banyak obat. Jiwaku telah kembali. Arumi telah kembali. Aku senang dengan diriku. Aku bersyukur dengan apa yang aku miliki, aku iklas dengan segala yang telah terjadi.

Meski trauma dan hantu masa lalu telah beranjak pergi, Aku tetap Arumi, Arumi dengan karakter yang masih sama. Arumi yang mudah jatuh cinta kepada seseorang yang bertamu dihatinya. Jadi wajar saja jika aku tidak jatuh cinta karena terbiasa kepada Julian, melainkan jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya.

Aku tidak pernah sabar melalui malam untuk menjemput pagi, setiap matahari mulai muncul rasanya hatiku terus mengepulkan asap cinta yang kian hari kian menebal, jantungku tak berhenti berdebar setiap aku akan duduk didekat jendela yang telah mempertemukan kami itu, aku tak sabar untuk terus menatapnya lagi dan lagi setiap harinya.

"Aku duluan ya" kakiku langsung melangkah keluar ketika Zea mengizinkanku untuk mendahuluinya.

Hari ini hari senin, seperti biasanya. Upacara akan menjadi pembuka hari senin murid-murid di semua sekolah, satu dua siswa mulai mendekat ke lapangan upacara, menunggu para petugas mempersiapkan upacara yang tinggal beberapa saat lagi.

Aku melangkahkan kaki dengan semangat, manyimpan tas dikelas lalu menunggu Zea didepan kelas untuk bisa ke lapangan bersama.

Lapangan basket menjadi tempat kami menggelar upacara setiap hari seninnya. Begitu Zea selesai menyimpan tasnya aku langsung menarik tangan Zea untuk beranjak ke lapangan basket.

"Kita di barisan belakang aja ya, biar bisa liatin Julian" aku berbisik centil ke telinga Zea.

Zea tersenyum, miring. Tidak menyangka jika kelakuanku akan begini ketika jatuh cinta.

Matahari mulai meninggi, hawa panas menusuk hingga ke tulang, untuk yang kesekian kali aku mengusap keningku yang sedikit berpelu. Upacara tak kunjung selesai, pembina upacara kali ini menyampaikan amanatnya begitu panjang bahkan sampai sekarang belum ada tanda-tanda ia akan mengakhirinya.

Aku tak lagi fokus kedepan, kakiku sibuk menyepak debu-debu dilapangan, Julian yang ingin ku pandangi juga tak berhasil disorot mataku sejak tadi. Ku lihat, Zea juga sudah berkacak pinggang dengan satu tangannya. Peluh di keningnya juga mulai membanjir. Aku menunduk menatap debu yang sedari tadi menjadi objek sepakanku.

Sorakan dan tepuk tangan yang cukup meriah tiba-tiba saja terdengar di telingaku, aku menoleh ketika Zea menyikut siku ku, telunjuknya menunjuk kedepan, menyuruhku untuk ikut memandangi arah depan.

Didepan sana sepuluh orang telah berjejer rapi lengkap dengan senyum termanis yang mereka punya. Aku mengabsen satu persatu wajah mereka, berusaha mencerna siapa mereka? Ngapain ada di sana? Dan lain sebagainya yang harus ku temukan jawabannya sekarang.

Pandanganku terhenti pada sesosok manusia, berkulit putih, berbadan tinggi, juga berambut lebat. Ia tersenyum lebar ke arah ku. Tidak, bukan, bukan ke arahku. Tapi ke semua orang yang kini sedang menatapnya. Untuk apa juga dia tersenyum kepadaku, bahkan mungkin dia tidak mengenaliku.

Guru dengan bangga memperkenalkan satu persatu mereka semua, mereka yang telah membuat harum nama sekolah kami dengan memenangkan lomba basket antar sekolah beberapa hari lalu.

Kedua sisi bibirku terangkat sempurna tepat ketika sang guru menyebut nama Julian Mahendra sebagai pemain cadangan. Meski hanya sebagai pemain cadangan tapi dia tetap terlihat gagah seperti yang lainnya, dan dia juga pemain termuda diantara pemain lain yang sudah duduk dikelas 11 dan 12.

●●●

Vote ceritanya yaa, see you next part. Bye bye. 😊

BALASAN [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang