Reason

129 21 7
                                    

"Talk sense to a fool and he calls you foolish."
― Euripides,

"Menarik," ucap salah satu anggota tim khusus tiba-tiba memecah keheningan. Waktu menunjukan pukul 01.14 dini hari.

"Apanya?" tanya Eros.

"Ada satu folder bernama Vindicta ArD57 berisi gambar mayat terpotong."

"Apanya yang menarik?" tanya Eros mencoba memahami maksud temannya itu. Dia tahu semua anggota tim-nya sudah sangat lelah malam itu.

"Menarik karena mayat ini adalah Dion Tarumanegara. See?" ucapnya dengan mata penuh cahaya kebenaran.

"Dion?" seolah ingin meyakinkan bahwa mereka sedang berada di frekuensi yang sama ketika membahas tentang masalah ini. Salah satu kasus yang belum mereka pecah kan juga. Temuan mayat dengan kondisi terpotong.

"Menarik karena dia memotret di tempat berbeda dari tempat kita menemukan mayat ini. foto ini diambil dari TKP, kemungkinan pelaku. Lo tau Vindicta artinya apa?" tanya petugas tersebut. Wajahnya sudah sangat pucat tapi matanya masih bercahaya.

"Apa?" tanya Eros penasaran.

"Balas dendam!"

***

Utari tampak sibuk mengemasi barang-barang pribadinya masuk ke dalam koper. Beberapa kali dia melihat ponsel dan terlihat senang.

"Udah Kak?" tanya Sela yang bersandar di pintu kamar.

"Sudah, dikit lagi. Kakak nelpon Rafa dulu ya," ucapnya kembali mengambil ponsel dan menelpon pria itu. Tidak membutuhkan waktu lama untuknya, pada dering pertama panggilannya langsung diangkat oleh sang suami. Beberapa kali dia tertawa, entah apa yang tengah mereka bahas.

Pertama kalinya bagi Utari untuk terpisah dengan sang suami walau hanya dua hari. Arion mendadak mempunyai urusan mendesak yang mengharuskannya pergi keluar kota. Tentu dia tidak mengizinkan Utari tinggal sendirian di rumah. Dia meminta Utari untuk tinggal sementara dengan Sela, sang adik, selama dia tidak ada. Tentu saja Sela setuju. Setelah urusannya selesai dia akan menjemput Utari di kediaman Sela.

"Kak. Kejadian kemarin kakak ceritain ke Mas Arion?" tanya Sela dalam perjalanan menuju apartemennya.

"Nggak. Bisa berabe kalo cerita. Lagi pula nggak sempat, Sel. Rafa perginya dadakan. Repot ngemasin barang-barang yang harus dia bawa," ucap Utari santai.

Sesampainya mereka di apartemen, Utari dan Sela sepakat hanya menyimpan koper kecil Utari ke dalam kemudian mereka akan mencari makan siang di luar. Mereka memutuskan untuk makan siang di salah satu rumah makan favorit mereka berdua. Keduanya memiliki kegemaran yang sama kecuali selera tentang pria. Mereka selalu menjadikan hal tersebut sebagai candan. Tentang Utari yang mendapatkan pria lebih muda darinya. Dan tentang Sela yang mendapatkan pria yang memiliki profesi yang mirip dengan sang Ayah.

Setelah makan siang mereka berjalan sambil tertawa mengenang masa-masa indah yang sedikit mereka miliki.

Sela jatuh tersungkur mencium aspal jalan yang panas. Sedangkan Utari pingsan dan di bawa masuk ke dalam sebuah mini bus hitam. Sela yang merasa pening, berusaha bangkit dan mencari keberadaan sang Kakak sambil mengingat apa yang terjadi. Kejadian cepat yang tidak terduga.

Perih masih dia rasakan. Kepalanya pening bukan main. Dengan langkah pincang dan tertatih dia berjalan masuk. Seorang pria berlari dari dalam dan menghampirinya dengan tergesa.

"Kenapa Sel? Ya Allah muka kamu?" ucapnya panik setengah mati.

"Kak Tari ... Kak Tari diculik!"

Saat itu Sela sempat melihat nomor polisi dari mobil yang membawa Tari, walau Sela tidak terlalu yakin karena sakit di kepalanya saat itu. Dengan berat hati Eros memberitahukan hal tersebut kepada Arion. Dia akan kembali saat itu juga.

Luka-lukanya diobati. Dia merasa marah dan kesal pada dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga sang kakak yang jelas-jelas berada di dekatnya. Dia tidak bisa memenuhi janji kepada Arion untuk menjaga Utari selama dia tidak berada dekat. Sela menggigit bibir bawahnya hingga berdarah membuat perawat yang mengobati luka pada wajahnya terkejut.

"Maaf Tari aku harus melakukan ini, karena jika bicara baik-baik lo pasti bakal menolak." Pria tinggi itu berdiri menghadap Utari yang duduk dalam keadaan terikat.

"Berengsek lo, mau apa lagi lo sekarang. Kurang kebejatan lo delapan tahun lalu? Kurang sudah berhasil menghancurkan seluruh kehidupan dan keluarga gue? Hah?" Utari menahan amarahnya. Sayang kemarahan itu benar-benar tersirat dari sorot matanya. Entah kenapa dia tidak merasa ketakutan lagi. Yang tersisa saat itu hanya kemarahan, hingga dia melupakan ketakutannya.

"Pertama, lo harus tau. Gue nggak pernah ikut dalam ide memperkosa lo malam itu. Kedua, gue menyesal sudah melakukan hal itu," ucap pria itu.

Utari tergelak, " Menyesal? Bullshit! Muka berengsek lo nggak memperlihatkan seseorang yang sudah menyesal menghancurkan hidup orang lain. Arman lo pikir gue nggak kenal siapa lo? Hah? Walaupun itu bukan ide lo, dan persetan itu ide siapa tapi lo sama aja seperti Dion, Adhi, Baim dan Desta. Kalian sama busuknya seperti Ciara!!"

"Lepasin gue!" ucap Utari tegang.

"Bilang sama gue, siapa pembunuh teman-teman gue? Siapa pembunuh Kalila? semua ini berkaitan dengan lo kan?" Arman tampak tergesa.

"Gue nggak tau ini ada hubungan dengan gue atau nggak. Tapi ..." Utari tersenyum mencela.

"Gue senang orang-orang itu, mati ... membusuk ..." sebuah tamparan mendarat ke wajahnya dengan keras.

Utari dan Arman sedang berada di sebuah ruangan tanpa jendela, hanya ada ventilasi kecil dengan penerangan dari neon putih yang menggantung. Ruangan itu hanya berisi kursi yang di duduki Utari dan sebuah meja di sudut.

Pintu terbuka secara paksa, seseorang masuk dengan muka merah padam. Menghantam kepala Arman dengan sebuah tongkat besi. Dia tersungkur tidak sempat mengelak apalagi melawan.

Lagi tongkat besi itu menghantam kepalanya hingga mengeluarkan banyak darah segar. Kemudian dia memukul bagian tubuh Arman yang lain.

"Gue bilang, jauhi Utari! Jangan sentuh dia! Berengsek!" ucapnya marah. Dia berongkok mengangkat kepala Arman yang sudah banjir dengan darah. Arman masih belum kehilangan kesadaran saat itu.

"Apa lo harus mati dulu seperti yang lain baru paham kata-kata gue!"

Arman kini meringkuk tak berdaya di pojok ruangan dengan luka di seluruh tubuhnya akibat pukulan benda tumpul itu. Pria itu meringin menaan sakit yang dia rasakan di sekujur tubuhnya.

"Gue senang, akhirnya kita bisa bicara."

"Utari, gue tau alasan kenapa lo setuju menikah dengan Arion. Gue tau rahasia Arion yang nggak lo tau. Arion tidak sebaik yang lo pikirkan Tari, dia juga bejat seperti aku, tapi ... tapi kenapa kamu milih dia ... kenapa?" Dia seolah akan menitikkan air mata.

"Lo ingin balas dendam dengan kami kan? Makanya ketika lo tau Arion berada satu frekuensi dengan kami, lo setuju menikah padahal lo nggak bisa dekat dengan pria mana pun! Lo nggak cinta sama Arion, Tar!"

Utari memandang pria yang tengah bicara padanya dengan tatapan tidak percaya. Selama dia mengenalnya Utari tidak pernah melihat sisi ini.

"Jangan samakan lo dengan suami gue! Lo berengsek ... bajingan!" ucap Utari mencela. Pria itu tidak marah malah tersenyum.

"Arion itu pembunuh!"

"Dan dia adalah dalang dari  pembunuhan wanita di Jakarta, Tari." Utari membelalakkan matanya. Dia ingin menampar pria di hadapannya tapi tak bisa, tangannya masih terikat.

"Gue punya buktinya. Dengan bukti yang gue punya gue bisa memisahkan kalian selamanya! Dan lo akan jadi milik gue." Pria itu mengeluarkan benda kecil dari saku celananya. Sebuah USB berwarna merah.

Psikopat Analog [TAMAT]Where stories live. Discover now