Rania tersenyum. "Rania yang ajak."

Bara mengangguk membenarkan. "Kalo gak boleh juga gak apa," katanya.

"Apanya yang gak boleh," omel Mama memukul anaknya pelan. "Bagus kalo mau ikut. Jangan maunya ngelayap sendiri terus. Tiap diajak ketemu keluarga gak mau...."

"Jangan diomelin, Bara-nya Ma," potong Rania tanpa mengalihkan perhatiannya dari cermin. "Tadi Rania bilang gak akan ada yang ngomelin dia kalo dia ikut," tambahnya.

Mama Tika menatap menantunya sesaat, tak lama kemudian tertawa. "Jadi harus dijanjiin gitu dulu baru mau ikut Bar?" tanya Mama Tika.

Bara diam saja, bahkan sebenarnya tak terlalu memperhatikan pertanyaan ibunya. Ia sedang tercengang, terkejut akan bagaimana interaksi ibu dan istrinya terjadi. Bagaimana Rania bisa mengatakan kejujuran itu dengan ringan dan bagaimana tanggapan ibunya akan hal itu. Ia seolah tak mengenal keduanya. Tak mengenal Rania, tak mengenal ibunya.

Seingat Bara, Rania wanita pendiam penuh dengan rahasia. Namun nyatanya ia begitu terbuka pada ibunya. Seingat Bara, ibunya orang yang keras memegang egonya namun baru saja ia melihat ibunya bisa luruh begitu saja pada permintaan menantunya.

"Semobil aja gak apa," kata Mama.

"Acaranya jam berapa sih Ma?" tanya Rania mengulas bulu matanya dengan maskara.

"Acara apaan, gak ada acara apa-apa. Main-main aja, Mama pengen liat cucu," jawab Mama berjalan masuk, duduk di ranjang.

Bara serasa ingin melarikan diri mendengar percakapan mereka, bisa menebak ke arah mana pembicaraan itu akan bermuara. Pasti obrolan selanjutnya adalah Mama minta cucu padanya.

Lama suasana hening. Bara melirik ibunya, tatapan mereka beradu dan Bara justru tak mengerti saat ibunya tak mengatakan apa pun melainkan tersenyum saja.

Mama tak menagih cucu padanya? Pikir Bara bertanya-tanya. Serius?

"Sebentar lagi ya Ma," kata Rania hampir selesai.

Mama Tika tersenyum menatap menantunya. "Iya, lagian kamu kalo dandan emang gak lama kok," jawabnya.

Rania tersenyum bangkit dan membungkuk sambil menatap cermin, menyeka goresan lipstik di sudut bibirnya.

"Ma? Rania belum siap apa gimana?" seru seseorang mendekat.

Rania, Bara dan Mama kompak menoleh ke arah suara. Saat Papa terlihat, seketika atmosfer terasa lain. Senyum yang sempat nampak di wajah laki-laki berumur itu surut seketika saat melihat anaknya. Ketegangan tiba-tiba menyelimuti.

"Bara... ikut," kata Mama coba memecah ketegangan.

Papa menatap Mama lanjut menatap Rania. Wajahnya masih dingin saat bermuara menatap anak laki-lakinya.

"Masih inget punya keluarga?" tanyanya sinis.

Bara diam saja bahkan tak balas menatap ayahnya.

"Pa," kata Mama lembut namun terdengar jelas nada tegurannya. "Gak usah dipermasalahin," tambahnya.

"Yang Mama bela dari anak kayak dia itu apa?"

"Bukan ngebela. Masalahnya Rania waktu ngajak Bara udah bilang...."

Tawa sinis Papa menghentikan kata-kata Mama. "Oh, harus diajak Rania dulu? " tanya Papa menyimpulkan. "Dia kalo punya otak, gak harus diajak juga mestinya udah ngerti sendiri."

Mama tak lagi berkomentar. Tidak juga dengan Rania, apalagi Bara. Beberapa saat, suasana tetap hening berselimut tegang. Walaupun Papa diam, namun tatapan mata tajam yang tertuju pada Bara masih saja penuh emosi kekesalan. Apalagi anak laki-lakinya itu tak acuh justru menatap ke arah lain dengan santainya.

"Rania selesai Ma." Rania buka suara sembari meraih tangan ibu mertuanya.

Mama menoleh pada Rania, tersenyum dan mengangguk.

"Ayok berangkat." Mama berjalan keluar menggandeng menantunya.

"Kita bawa mobil sendiri aja." Bara menahan lengan istrinya.

Mama dan Rania kompak menatapnya, mendapati tatapan mata Bara yang tertuju pada ayahnya. Kedua wanita itu saling tatap seolah bertelepati menanyakan pendapat satu sama lain. Rania akhirnya mengangguk pada mertuanya lalu Mama lepaskan lengan Rania.

"Nanti ketemu di sana," kata Mama beranjak. Masih sempat menarik suaminya saat lewat.

"Rania," panggil Papa menahan diri dari tarikan Mama. "Hati-hati di jalan," kata Papa namun mata menatap Bara. "Gak ada buaya yang nolak bangkai."

Papa dan Mama pergi setelah itu. Bara menatap Rania menunggu tanggapannya. Wanita itu mungkin akan coba menenangkannya. Menyuruhnya untuk sabar, tidak mendengarkan ocehan papanya, atau hal lain semacam itu.

"Ayok Bar," kata Rania lebih dulu berjalan.

Bara melongo di tempatnya. Tidak satu pun dari tebakannya?

______

*Peribahasa asli dari kata-kata Papa : Adakah Buaya menolak bangkai?
Artinya : orang jahat (buruk perilakunya), akan berbuat jahat (berlaku buruk) kalau ada kesempatan.
______

Sumber : KBBI V
© 2016-2020 Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Info lebih lanjut silakan mengunjungi KBBI V Daring kbbi.kemendikbud.go.id
Atau menghubungi posel badan.bahasa@kemendikbud.go.id

Beeuh udah kek duta bahasa aja authornya. Kurang kerjaan 🤣
______

Mereka sampai. Bara berhenti di dekat mobil melihat sekeliling. Pekarangan Tante Indri yang ditanami bermacam tumbuhan khas pegunungan memang sayang untuk dilewatkan. Udara sejuk yang terhirup terasa asing namun bersahabat. Membuatmu ingin menarik nafas dalam-dalam. Bara tidak ingat kapan terakhir kali menyegarkan pikiran dengan datang ke pegunungan begini.

Mata Bara menangkap pemandangan lainnya. Pemandangan seorang wanita yang matanya berbinar tersenyum bahagia. Kali ini senyum wanita itu tak menular padanya. Bara hampiri istrinya, merengkuh pinggang dan mengecup dahinya.

Rania terkejut dengan serangan tiba-tiba itu. Menatap Bara penuh curiga.

"Kamu bilang gak akan ada yang ngomelin aku hm?" Bara menagih janji.

Rania mengangguk pelan.

"Terus tadi apaan? Belum juga berangkat, Papa udah ngomel duluan."

Rania tersenyum menertawakan. "Papa pengecualian," bisik Rania. "Karena Papa tahu kamu yang sebenarnya," tambah Rania.

Pintu utama terbuka dan terlihat seorang laki-laki tampan dengan senyum ceria yang menyambut mereka. Anak Tante Indri, sepupunya Bara. Mencium tangan Mama dan Papa lalu mempersilahkan masuk langsung menuju ruang keluarga.

"Wuoh," pekiknya syok melihat Bara. Sambil menunjuk batang hidung abangnya ia menatap Rania seolah bertanya apa itu manusia sungguhan atau khayalannya saja.

Rania mengangguk dan tersenyum menjawabnya. Bara berdecak kesal menepis tangan di depan wajahnya, langsung masuk tanpa perlu dipersilahkan.

"Bang, lu kesambet apaan bisa nyampe sini?" tanya laki-laki itu mengejar, langsung merangkul Bara dengan akrab.

"Jangan resek deh Jul," jawab Bara malas.

Langkah Bara terhenti seketika sampai di ruang keluarga. Sial. Batinnya. Ruangan itu sudah ramai dengan kerabatnya. Om, tante, sepupu, ipar, bahkan ada Oma di ujung ruangan. Telinganya pasti akan berdengung saat pulang dari sini nanti.
______________

Bersambung...

Yok main tebak-tebakan soal buaya 🤭🤭

Apa yang menempel pada Buaya dan Kerbau tapi tidak pada Kancil?

Kesempatan Kedua [Terbit]Where stories live. Discover now