Bagian 8

200 73 67
                                    

Malam ini langit tak berbintang. Padahal, sangat ingin melihat mereka berkilauan di langit nan indah itu. Udaranya dingin, walau suhu berada di angka 27°C.

Perasaanku saja atau memang diriku sedang ada yang mengganjal. Keringat dingin membasahi tangan, dan menggigil tidak tahu kenapa. Tadi pagi, aku baik-baik saja, namun kenapa sekarang tubuh rasanya jadi bergejolak?.

Kuberbaring di atas ranjang sembari memegang kedua sisi perutku. Terasa nyeri. Amat nyeri. Tidak dapat kutahan, hingga cairan bening lolos dari pelupuk mata.

Kuraih handphone yang berada di atas meja yang berada dekat ranjang. Awalnya ingin menghubungi Mama, tapi, sekarang Mama sedang berada di sebuah acara penting. Tidak enak jika harus menganggu.

Akhirnya aku hanya menunggu saja hingga Papa datang. Kata Mama sih, Papa sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Semoga cepat datang. Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi.

"Natsvi?"

Pintu terbuka, menampakkan sosok yang sedang kutunggu-tunggu.

Papa langsung menghampiri lalu bertanya, "Kenapa nangis? Kamu sakit?"

Aku menangguk tanpa suara

"Sakitnya di mana?"

Kutunjuk bagian perut yang menjadi segala sumber kesakitan itu.

"Kamu sesak napas, gak? Atau pusing?"

Aku mengangguk lagi

Papa berlalu dari kamar untuk mencari obat yang terpikir di benaknya. Papa bukanlah dokter tapi ia tahu sedikit tentang obat-obatan.

Setelah mencari, akhirnya Papa kembali dengan satu jenis obat serta segelas air mineral di tangan kirinya.

"Ini obat maag kamu, minum dulu ya."

Aku mengubah posisi yang tadinya tidur menjadi duduk. Sesudah meminum obat yang diberikan, aku kembali tidur berharap sakitnya cepat mereda hingga hilang.

Sebelum keluar dari kamar, Papa berujar, "Kalau sakitnya tambah parah, kita ke rumah sakit"

Mulutku sangat ingin menentang namun daya tubuh sedang tidak baik untuk berdebat.

Kurang lebih satu jam, mataku tertutup. Hanya mata saja yang tutup. Tetapi untuk tidur, tidak dapat kulakukan. Bahkan, aku hanya menggeliat tidak jelas. Sebab nyeri serasa menjalar keseluruh tubuh. Tidak berkurang sedikitpun, malah semakin bertambah parah.

Saat Papa kembali ke dalam kamarku, Ia mendapati aku yang terlihat semakin buruk. Berusaha menahan sakit ternyata tidak membuahkan hasil yang baik, justru semakin rumit.

Sampai akhirnya, dengan terpaksa aku dibawa ke rumah sakit. Rumah yang bukan untuk pulang.

Aku tidak suka rumah sakit. Bau obat dan alkohol, ruangan putih, suasana yang membosankan. Ditambah sejumlah jarum dengan jenis yang berbeda. Menambah kesan mencemkam gedung itu.

Selama perjalanan, yang bisa kulakukan hanyalah menutup mata seraya harap-harap cemas agar tidak rawat inap.

Namun, ketika tiba di tempat itu, segala kegelisahan menjadi kenyataan.

Aku harus dirawat di rumah sakit ini. Kata dokter, terdapat infeksi di salah satu organ yang ada dalam tubuhku. Dan untuk mengetahui lebih lanjut, harus rawat inap.

Jika tanya bagaimana pendapatku? Sejujurnya, aku tidak mau. Namun, segala sesuatu untuk menghasilkan kebaikan, membutuhkan pengorbanan, bukan? Jadi, aku harus setuju serta meredam ego dalam diri.

Hingga tiba dalam satu fase yang membuat suasana rumah sakit menjadi menyeramkan. Jarum Infus.

Sebelum masuk dalam ruangan, memang harus diinfus. Sebenarnya ada opsi atas itu semua. Infus atau suntik selama berada di sini. Membayangkan tubuh ini harus ditusuk jarum suntik saja tidak sanggup, maka dari itu infus mungkin menjadi satu-satunya pilihan terbaik saat ini.

ChocolateWhere stories live. Discover now