Bagian 9

167 57 72
                                    

Lima menit yang lalu Mama menyuruhku untuk memberi buah tangan kepada Bang Edo. Padahal, sangat ingin bersantai ria di atas sofa sambil mengemil makanan ringan. Ya, supaya tidak kena ocehan panjang kali lebar tiada henti, mau gak mau harus mengikuti ucapan sang Nyonya besar.

Dan sekarang, berakhirlah di tempat ini. Sebuah bengkel yang tidak terlalu besar, dimodif cukup menarik, kadang-kadang ramai tapi sekalinya sepi, akan sunyi seperti tempat tak bernyawa.

"Selamat siang," sapaku pada seorang pria yang baru pertama kali kulihat, mungkin pekerja baru.

"Siang juga, cari siapa, Ce?"

Tungu, dia memanggilku apa? Ce?

"Bang Edo-nya ada?"

"Ada di dalam, nanti saya panggilkan dulu." Ujarnya kubalas dengan anggukkan.

Bang Edo keluar dengan sekotak peralatan bengkel, serta tangannya yang terlihat kotor, sepertinya Ia baru memperbaikki kendaraan.

"Daren? Kenapa ke sini? Sepedanya kan udah dibenerin, apa rusak lagi?"

Aku menyengir, "Enggak kok Bang. Tadi Mama suruh Daren buat ngasih ini"

Bang Edo mengambil kantung plastik yang sedari tadi bertengger di jari-jariku seraya melihat isi dibalik plastik itu.

"Bunda Angel habis liburan?" Tanya Bang Edo, mungkin karena isinya yang tampak asing baginya.

Oh, iya, Bang Edo sering manggil Mama dengan sebutan 'Bunda Angel'. Alasannya? Gak tahu, gak pernah nanya.

"Enggak. Tante ngirim kuenya banyak banget, jadi dibagi ke Bang Edo deh"

"Begitu toh. Makasih, ya, jadi repot segala sampein juga ke Bunda."

"Gak masalah kok Bang, Daren balik ya" kataku

Teringat akan sesuatu membuatku memberhentikan langkah lalu berbalik

Dengan mencondongkan badan, seraya berbisik aku bertanya, "Bang Ed? Itu pekerja baru?"

Bang Edo menoleh ke arah yang kumaksud lalu menganggut, "Oh, itu? Iya, baru seminggu di sini, namanya Pak Odi. Kenapa memangnya?"

Kutegakkan lagi tubuhku, "Ehm, kenapa Bapak itu manggil aku dengan sebutan 'Ce'? Kan nama lengkap Daren gak ada Ce-nya"

"Mungkin matamu"

"Mata?"

"Iya, matamu kecil, sama seperti badan mungilmu itu"

Refleks kupukul lengannya, "Ngawur ih!"

"Bener Dar, matamu cukup sipit makanya dipanggil 'Ce', semua pelanggan yang matanya kecil juga sering dipanggil gitu sama Pak Odi, jadi itu udah biasa"

Aku berpikir sebentar. Ah, benar juga. Mungkin dia pikir aku seseorang dengan keturunan chinese, ya? Padahal belum tentu semua yang bermata kecil itu orang chinese. Lagi pula, aku pure Indonesia. Entah kenapa mataku kecil.

"Ya sudah, Daren pamit deh kalau gitu." Ucapku yang dibalas dengan anggukkan.

Dalam perjalanan menuju rumah, sebuah mobil berhenti tepat di sebelahku membuatku berhenti lalu menoleh. Mobil yang sedari tadi kupikir mengikutiku, ternyata benar mengikuti.

Seseorang keluar dari dalam mobil itu. Terpampang seorang lelaki dengan hoodie birunya serta sepatu vans berwarna hitam.

"Hai, Nats" Ia menyapa

Tak bisa kupalingkan wajah ke arah lain, hanya terpaku menatapnya. Kaku. Seperti patung. Kalo kataku ini adalah "The real freeze"

"Nats, Nats, Nats? Hello..."

ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang